Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Bayang-Bayang Kerawanan Sosial di Kota Makassar

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2023 tercatat di angka 83,53, menempatkannya dalam kategori “tinggi”.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Asratillah Direktur Profetik Institute 

Habitus yang kecewa ini menemukan saluran ekspresinya dalam demonstrasi, aksi jalanan, hingga konflik horizontal di lingkungan kampus atau jalan raya.

Namun, untuk memahami kedalaman persoalan ini, Bourdieu mengingatkan kita pada mekanisme konversi modal.

Modal budaya—ijazah, keterampilan akademik, bahkan cara berbicara yang “berpendidikan”—baru bermakna bila berhasil dikonversi menjadi modal ekonomi (pekerjaan, pendapatan, jaminan sosial).

Jika mekanisme konversi ini macet, maka yang muncul adalah paradoks pembangunan manusia, pendidikan meningkat, tetapi pengangguran tetap tinggi. Inilah yang mungkin terjadi di Makassar.

Lebih jauh, Bourdieu dalam “The Forms of Capital” (1986) menekankan bahwa modal sosial—jaringan, relasi, keanggotaan kelompok—sering kali lebih menentukan akses kerja dibanding ijazah semata.

Di Makassar, pemuda dari keluarga kelas menengah bisa saja punya jejaring birokrasi atau akses politik lebih mudah menembus pasar kerja formal, sementara pemuda dari keluarga miskin kota, meskipun sama-sama terdidik, tetap tersisih.

Hasilnya adalah ilusi meritokrasi, seakan-akan semua orang punya kesempatan yang sama karena pendidikan, padahal realitasnya kesempatan itu dipilah oleh jaringan sosial dan status keluarga.

Bourdieu juga menggunakan konsep “field” (ranah). Dunia kerja di Makassar adalah sebuah “field” tempat modal-modal itu dipertarungkan.

Pemuda dengan modal budaya tinggi (sarjana baru, lulusan vokasi) masuk ke arena ini dengan keyakinan (illusio) bahwa ijazah adalah tiket.

Namun ketika “rules of the game” di pasar kerja lebih mengutamakan koneksi atau pengalaman daripada ijazah, maka mereka sadar tiket itu tidak berlaku, ketegangan ini akan menjelma dalam bentuk frustrasi kolektif. 

Lebih ironis lagi, modal simbolik—citra, status, pengakuan sosial—sering kali lebih menentukan dibanding keterampilan nyata.

Seseorang yang datang dari keluarga terpandang bisa lebih mudah dipercaya untuk mengisi posisi tertentu, meski kualitasnya sama dengan orang lain.

Maka, pembangunan manusia dalam bentuk IPM yang menekankan rata-rata lama sekolah dan harapan hidup seringkali menyembunyikan realitas bahwa distribusi modal simbolik dan sosial masih timpang.

Lain halnya jika kita meminjam gagasan Ralf Dahrendorf. Dalam Class and Class Conflict in Industrial Society (1959), menekankan bahwa konflik sosial lahir bukan semata dari distribusi kekayaan, tetapi dari distribusi otoritas.

Bagi Dahrendorf, masyarakat modern bukanlah ruang yang harmonis, melainkan arena penuh ketegangan antara mereka yang memiliki kekuasaan membuat aturan dan mereka yang tunduk pada aturan itu.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved