Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Bayang-Bayang Kerawanan Sosial di Kota Makassar

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2023 tercatat di angka 83,53, menempatkannya dalam kategori “tinggi”.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Asratillah Direktur Profetik Institute 

Ketiga, kesenjangan ekonomi dan ketimpangan antarwilayah. Gini ratio Makassar berada di angka 0,39–0,40. Kemiskinan absolut memang rendah (sekitar 4,6 % ), tetapi ketimpangan antar-kecamatan terasa tajam.

Kawasan elite seperti Panakkukang atau Tamalanrea menampilkan wajah pertumbuhan kota modern, sementara kecamatan padat seperti Tallo atau Biringkanaya bergulat dengan masalah kemiskinan, permukiman kumuh, dan infrastruktur dasar yang tidak merata.

Di titik inilah kriminalitas kecil, tawuran antarwarga, hingga perebutan ruang publik mudah bersemi.

Keempat, kerentanan gender dan anak. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Makassar relatif tinggi, tetapi Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) masih moderat.

Perempuan banyak hadir di dunia pendidikan, tetapi belum signifikan menembus posisi strategis di dunia kerja maupun politik.

Indeks Perlindungan Anak pun berada pada level “cukup baik”, namun laporan kekerasan terhadap anak dan perempuan tetap muncul secara rutin.

Kondisi ini menciptakan paradoks, kesadaran akan hak makin meningkat, tetapi realisasi masih terbatas, sehingga memicu ketegangan sosial berbasis gender.

Kelima, urbanisasi dan tekanan infrastruktur kota. Sebagai magnet migrasi Sulawesi Selatan, Makassar menerima arus pendatang yang terus meningkat.

Pertumbuhan penduduk ini tidak selalu diimbangi dengan layanan dasar memadai. Lahirnya kawasan kumuh baru, tekanan pada ketersediaan air bersih, perumahan, dan sanitasi, menjadi bara dalam sekam.

Dengan demikian, pembangunan manusia di Makassar menghadirkan wajah ganda, satu sisi memantapkan statusnya sebagai kota modern dengan indeks tinggi.

Di sisi lain melahirkan potensi kerawanan sosial berupa pengangguran pemuda, ketimpangan kelas, stunting, kekerasan berbasis gender, dan tekanan urbanisasi.

Tinjauan Teoritik atas Potensi Kerawanan Sosial

Dalam “Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1979)”, Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa ketidaksetaraan tak hanya lahir dari modal ekonomi, tapi juga dari modal budaya, sosial, dan simbolik.

Di Makassar, peningkatan angka rata-rata lama sekolah (modal budaya) tak otomatis mengantar pemuda pada pekerjaan (modal ekonomi).

Habitus pemuda terdidik terbentuk oleh keyakinan bahwa sekolah adalah tiket mobilitas, tetapi ketika tiket itu tidak berlaku di pasar kerja, lahirlah frustrasi sosial.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved