Opini
Negara, Unjuk Rasa, dan Pertaruhan Wibawa Hukum
Di Makassar, kantor DPRD Kota Makassar hingga gedung DPRD Provinsi Sulawesi Selatan hangus terbakar akibat amukan massa.
Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAINParepare
TRIBUN-TIMUR.COM - Beberapa hari terakhir, publik kembali dikejutkan dengan eskalasi unjuk rasa di berbagai daerah.
Di Makassar, kantor DPRD Kota Makassar hingga gedung DPRD Provinsi Sulawesi Selatan hangus terbakar akibat amukan massa.
Peristiwa ini bukan hanya menambah daftar panjang aksi unjuk rasa yang berujung pada kekerasan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar, di manakah negara ketika wibawa hukum diuji?
Apakah negara kalah menghadapi amukan massa, atau justru sengaja membiarkan agar kerusuhan menjadi pesan politik tertentu?
Secara konstitusional , Konstitusi Indonesia melalui Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat di muka umum, baik secara lisan maupun tulisan.
Hak ini merupakan bagian dari demokrasi yang sehat. Namun, jaminan konstitusional tersebut tidaklah absolut.
Pasal 28J UUD 1945 menegaskan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia dibatasi oleh penghormatan atas hak orang lain, serta untuk menjamin ketertiban umum, moralitas, dan keamanan nasional.
Dengan demikian, unjuk rasa yang berubah menjadi perusakan dan pembakaran fasilitas umum bukan lagi ekspresi demokrasi, melainkan tindak pidana yang melanggar hukum.
Aparat negara seharusnya berdiri di garda terdepan untuk menegakkan batas antara kebebasan berpendapat yang sah dengan aksi anarkis yang merugikan kepentingan umum.
Sayangnya, dalam peristiwa Makassar dan sejumlah daerah lain, publik justru menyaksikan absennya negara.
Aparat tampak gagap, bahkan seolah tidak berdaya menghadapi massa yang merusak. Kantor DPRD simbol kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi perwakilan dibiarkan dilahap api.
Ketiadaan tindakan cepat dan tegas menimbulkan kesan kuat bahwa negara kalah menghadapi kekuatan jalanan.
Lebih buruk lagi, ada kecurigaan bahwa negara sengaja membiarkan aksi brutal itu berlangsung.
Apakah ini bentuk pembiaran untuk memberi pesan politik tertentu? Ataukah cerminan lemahnya strategi keamanan dalam menghadapi demonstrasi besar?
Pertanyaan ini penting, karena dalam hukum tata negara, salah satu fungsi utama negara adalah menjaga ketertiban umum.
Hans Kelsen, dengan teori "grundnorm"-nya, menekankan bahwa negara harus berdiri sebagai sumber legitimasi tertinggi dalam penegakan norma. Jika negara tidak hadir, maka legitimasi hukum runtuh, dan yang berlaku adalah hukum rimba.
Unjuk rasa dalam demokrasi merupakan mekanisme koreksi sosial. Namun, ketika aksi tersebut berubah menjadi anarki, negara wajib mengintervensi.
Apalagi yang diserang adalah gedung parlemen daerah, lembaga yang sejatinya merepresentasikan kedaulatan rakyat.
Membiarkan pembakaran gedung DPRD berarti sama dengan merelakan simbol kedaulatan rakyat dihina dan diluluhlantakkan.
Dalam konteks ini, demokrasi kita menghadapi ujian serius. Apabila negara terus menerus gagal menghadirkan hukum secara tegas, maka masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada institusi formal.
Pada gilirannya, rakyat lebih memilih jalan kekerasan ketimbang prosedur demokrasi. Itulah awal dari runtuhnya negara hukum.
Pertanyaan apakah negara kalah atau sengaja membiarkan harus dijawab secara jernih.
Pertama, negara bisa dikatakan kalah bila aparat keamanan benar-benar tidak mampu mengendalikan situasi karena lemahnya strategi, koordinasi, atau jumlah personel.
Kedua, negara bisa dianggap sengaja membiarkan bila terdapat motif politik tertentu misalnya untuk membentuk opini bahwa oposisi anarkis, atau sebaliknya untuk mendeligitimasi pemerintah.
Dalam kedua skenario tersebut, rakyat yang dirugikan. Fasilitas umum rusak, rasa aman hilang, dan demokrasi tercederai.
Menurut penulis, ada dua jalan yang harus ditempuh. Pertama, jalan hukum.
Aparat penegak hukum wajib memproses para pelaku perusakan dan pembakaran tanpa pandang bulu.
Penegakan hukum yang tegas akan mengembalikan wibawa negara dan menjadi pelajaran bahwa demokrasi tidak identik dengan anarki.
Kedua, jalan politik. Pemerintah bersama DPR harus mengevaluasi mekanisme penyaluran aspirasi publik.
Apabila kanal formal seperti rapat dengar pendapat, forum konsultasi publik, atau mekanisme peradilan kebijakan (judicial review) berfungsi baik, maka unjuk rasa tidak akan mudah berubah menjadi aksi anarkis.
Kejadian di Makassar adalah alarm keras bagi negara hukum kita. Jika negara terus absen, maka publik akan menilai bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka yang lemah, sementara massa yang beringas bisa bebas merusak tanpa konsekuensi.
Pada titik itu, negara bukan lagi menjadi pengendali, tetapi justru dikendalikan oleh kekuatan jalanan.
Demokrasi memang rentang dengan konflik. Baik konflik antar lembaga negara, konflik negara dengan individu, konflik negara dengan kelompok maupun konflik anta individu dengan individu, namun demokrasi tidak mentolerir konflik yang merusak sistem tatanan bernegara. Oleh karena itu negara tidak boleh kalah dengan kelompok anarki.
Negara tidak boleh kalah. Lebih-lebih, negara tidak boleh sengaja membiarkan. Demokrasi hanya bisa tumbuh jika hukum ditegakkan, hak warga dihormati, dan ketertiban umum dijaga.
Membiarkan aksi anarkis sama artinya dengan merelakan demokrasi kita terperosok menjadi anarki.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.