Opini
Ironman Gagal Menjaga Tahta, Kalkulator Gagap Menakar Rasa
Nilainya bahkan mungkin ratusan juta, tapi dalam genggaman massa, ia tak lebih dari besi tua yang kalah oleh bara emosi.
Oleh: Muhammad Majdy Amiruddin
Dewan Eksekutif Scholar Guild for Reseach and Discovery
TRIBUN-TIMUR.COM - Ironman, pahlawan besi dari semesta imajinasi, teronggok bagai boneka yang kehilangan jiwa.
Ia dijarah dari rumah seorang pejabat, diperlakukan bukan sebagai ikon penyelamat bumi, melainkan sebagai trofi kemarahan yang menggelegak.
Nilainya bahkan mungkin ratusan juta, tapi dalam genggaman massa, ia tak lebih dari besi tua yang kalah oleh bara emosi.
Bahkan jam tangan Richard Mille senilai sebelas miliar ikut raib, seakan rakyat sedang belajar menghitung dengan cara yang tak masuk akal.
Di jalanan yang dipenuhi asap, harga diri dibarter dengan api, dan simbol kemewahan dikuliti dari gengsi tuannya.
Ironman gagal menjaga tahta, dan manusia gagal menjaga makna dari rasa yang terbakar.
Ketika amarah lebih cepat berlari daripada nalar, maka keadilan ikut terseret dalam kerumunan.
Di Makassar, gedung DPRD menjadi altar tempat api menyanyi. Empat jiwa terperangkap di dalamnya, seakan negara mengorbankan mereka pada dupa kekuasaan.
Asap yang menjulang bukan sekadar tanda amarah spontan, melainkan hasil fermentasi panjang dari kekecewaan yang dibiarkan membusuk.
Rakyat sudah terlalu sering mengetuk pintu dengan sopan, tapi jawabannya hanya sindiran yang merendahkan.
Ada ucapan seorang wakil rakyat yang enteng berkata: “Dikiranya Tiga juta sebulan itu banyak.” Kata-kata yang lahir dari perut kenyang diiringi tarian, tapi jatuh di telinga perut lapar.
Dari situlah amarah menjelma api, dan api menjelma tragedi yang tak lagi memilih siapa kawan dan siapa korban.
Kesalahan terbesar mungkin bukan di jalanan yang terbakar, tapi di ruang ber-AC tempat hitungan bisa tersesat.
Ada anggota parlemen yang keliru menghitung biaya kos tiga juta dikalikan dua puluh enam hari kerja, lalu membandingkannya dengan tunjangan puluhan juta.
Lidahnya terpeleset, kalkulasinya ganjil, tapi bagi rakyat itu lebih dari sekadar keliru: itu tamparan. Tiga juta yang bagi mereka cukup untuk sebulan, direduksi menjadi angka harian yang menggelikan.
Inilah kalkulator yang gagap—sangat pandai menghitung rekeningnya sendiri, tapi buta menakar lapar orang lain.
Di kursi empuk parlemen, rasa bisa salah ukur, sementara di pasar, sekeping koin bisa menentukan hidup. Jarak antara dua ruang itu semakin melebar, dan di celahnya tumbuh jurang yang menelan kepercayaan.
Di celah jurang itu, Affan terjatuh. Ia bukan orator demo, bukan provokator, hanya pengemudi ojol yang mencari sesuap harapan di jalanan macet.
Namun hidupnya direnggut oleh kendaraan Barracuda, besi raksasa yang mestinya menjaga, bukan merenggut. Affan pulang dalam peti, dan sanak famili hanya bisa menatap kosong pada ruang yang ditinggalkan.
Di media sosial, kisahnya diperebutkan: ada yang menjadikannya simbol kebiadaban, ada yang menciutkannya jadi angka statistik.
Namun apa arti angka bila nyawa telah melayang? Affan adalah potret paling getir dari kalkulasi yang salah kaprah: negara bisa menghitung triliun, tapi gagal menghitung derai air mata seorang anak.
Kegagapan itu semakin terasa bila membandingkan upah para pejabat dengan rakyat kebanyakan.
Seorang wakil rakyat bisa mengantongi tunjangan setara lima puluh dua kali lipat UMR, sementara di negeri maju selisihnya hanya beberapa kali lipat.
Guru dan dosen di negeri ini berjuang dengan gaji seadanya, padahal di negara tetangga profesi pendidik diperlakukan bak pilar peradaban.
Maka jangan heran bila literasi kita jatuh, bila matematika dan sains kita tercecer di dasar peringkat dunia.
Bagaimana mungkin generasi ini bisa cerdas bila gurunya dihargai seadanya, sementara para pejabat dimanjakan dengan fasilitas mewah?
Salah hitung telah berubah menjadi salah urus, dan salah urus yang panjang menjelma luka yang mendidih. Angka boleh naik di kertas, tapi akal sehat turun di kehidupan nyata.
Namun di tengah kritik yang meluap, panggung lain justru digelar di media sosial.
Ada pejabat yang buru-buru membagi sembako, ada yang menyambangi korban dengan kamera menyala, seakan duka adalah properti siaran.
Ada pula yang menyelipkan nostalgia tokoh lama, seolah masa lalu bisa menebus masa kini. Semua tampil bagai aktor di panggung bayangan, sementara rakyat tetap jadi penonton setia.
Pertanyaan pun menggantung di udara: apakah ini murni protes, atau ada sutradara yang menulis naskah tersembunyi?
Api di gedung DPRD bisa jadi bara kekecewaan, tapi bisa juga genderang perang yang dipukul dengan wajah tersamar. Dan rakyat, lagi-lagi, dipaksa memilih pahlawan imajiner di tengah reruntuhan nyata.
Bahaya terbesar dari semua itu adalah bila anarkisme dijadikan dalih untuk mengibarkan bendera darurat.
Stabilitas bisa runtuh, ekonomi bisa merosot, dan negeri ini bisa direbut oleh tangan-tangan yang lebih jahat.
Di titik ini, nalar adalah benteng terakhir yang tersisa. Demonstrasi adalah hak rakyat, tapi penjarahan adalah pengkhianatan pada hak itu sendiri.
Protes adalah suara, tapi anarki adalah bisu yang dipoles bising. Negeri ini terlalu berharga untuk dipertaruhkan hanya karena salah hitung rasa di kursi parlemen.
Bila api dibiarkan terus menyala, ia tak hanya membakar gedung, tapi juga kepercayaan yang sudah rapuh.
Akhirnya, Ironman gagal menjaga tahta, jam tangan mewah lenyap, dan Affan kembali ke rumah dalam peti. Empat jiwa terbakar di gedung DPRD, dan rakyat kecil kembali tercatat sebagai korban samping.
Tapi sesungguhnya, kegagalan terbesar ada pada mereka yang tak mampu menjaga keadilan. Kalkulator boleh menghitung sampai triliunan, tapi ia tetap gagap menakar lapar.
Negeri ini bukan tentang angka di kertas, melainkan tentang rasa yang tak pernah bisa dihitung. Dan rasa, bila terus dikhianati, akan membalas dengan cara yang tak terduga.
Seperti Ironman yang jatuh, negeri ini bisa tumbang bila kita terus salah menakar rasa.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.