Keberanian Purbaya Harus Diimbangi Koordinasi Antar Lembaga
Pak Menteri Keuangan ini justru, saya lihat, menganggap berutang bukanlah masalah. Negara masih boleh berutang, semua orang boleh berutang.
Penulis: Rudi Salam | Editor: Abdul Azis Alimuddin
Dalam konteks ini, OJK juga berperan penting karena merekalah yang bisa langsung mengarahkan sektor perbankan agar tidak terlalu tinggi menetapkan bunga pinjaman.
Pak Purbaya sendiri menekankan bunga ideal sekitar 7 persen; yang tentu disambut positif oleh pengusaha.
Tapi masalahnya, perbankan yang selama ini sudah terbiasa dengan bunga deposito tinggi, tentu sulit menyesuaikan diri begitu cepat.
Kondisi ini membuat kebijakan fiskal dan moneter berada dalam posisi yang sangat berisiko.
Kalau dulu ada koordinasi lewat KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), sekarang tampak seolah-olah kebijakan fiskal berjalan sendiri.
Bahkan beberapa keputusan besar, seperti pemotongan dana MPG atau pengambilan kebijakan likuiditas, dilakukan tanpa pembahasan panjang dengan DPR.
Artinya, dominasi fiskal policy sangat kuat di pemerintahan baru.
Namun, langkah itu sebenarnya bisa dimaklumi. Dalam situasi ekonomi yang stagnan, langkah cepat memang perlu.
Apa dilakukan Pak Purbaya bisa menjadi inspirasi baru karena beliau berani membongkar banyak persoalan lama yang selama ini dibiarkan.
Tapi disisi lain, kita juga khawatir apakah kebijakan semacam ini tidak justru menimbulkan ketidakstabilan.
Bagi pengusaha, yang paling penting adalah kepastian.
Regulasi dan kebijakan yang diambil harus tertulis jelas dan bisa diimplementasikan, bukan hanya berhenti pada wacana. Karena pasar dan mitra luar negeri menunggu kepastian itu.
Memang, dari kacamata ekonomi, kebijakan diambil saat ini banyak bersifat trade-off.
Misalnya, ketika pajak dikurangi agar tidak membebani pengusaha, itu bagus,tapi pertanyaannya, bagaimana pembiayaannya? Akhirnya pemerintah menambah utang.
Di sinilah letak dilema antara mendorong pertumbuhan dan menjaga kestabilan fiskal.
Meski begitu, saya melihat langkah Pak Purbaya cukup berani dan punya arah nasionalisme yang kuat.
Ia mencoba membuka masalah yang selama ini tertutup, meski konsekuensinya besar.
Jadi, kebijakan fiskal dan moneter saat ini memang sangat penting, tapi kuncinya adalah koordinasi dan keseimbangan.
Tanpa itu, kebijakan yang berani sekalipun bisa berisiko menimbulkan ketidakpastian, bahkan meningkatkan risiko bisnis Indonesia di mata lembaga internasional.
Keberanian Pak Purbaya dan risiko kebijakannya, mana lebih menonjol saat ini?
Prof Marsuki:
Kalau saya lihat, saat ini justru yang paling menonjol adalah risiko akibat friksi antar lembaga.
Sekarang ini ada gesekan cukup kuat, pertama dengan DPR, kedua dengan otoritas moneter seperti Bank Indonesia, dan ketiga dengan beberapa kementerian lain.
Friksi-friksi ini bisa menjadi tantangan besar bagi Pak Purbaya, karena tanpa dukungan politik yang solid, keberanian saja tidak cukup.
Memang Pak Purbaya ini sosok yang berani dan lugas bisa dibilang komunikasinya agak vulgar, bahkan cenderung seperti koboy ekonomi.
Ia berbicara sangat terbuka dan langsung ke inti masalah.
Dari sisi transparansi, itu bagus. Tapi gaya seperti itu juga bisa menimbulkan resistensi, terutama di lingkungan pemerintahan yang penuh kompromi politik.
Masalahnya, kalau beliau tidak mendapat backup kuat, misalnya langsung dari Presiden atau kelompok politik besar yang mendukung kebijakan fiskalnya, akan sulit mempertahankan kebijakan yang menabrak banyak kepentingan.
Karena yang beliau lakukan saat ini bisa dianggap melawan arus, baik terhadap DPR, BI, maupun lembaga lain yang punya agenda masing-masing.
Kalau dilihat dari sisi kebijakan, langkah beliau menurunkan bunga dan mengguyur likuiditas memang bertujuan baik: mendorong ekonomi riil.
Tapi di sisi lain, kebijakan seperti itu bisa menciptakan liquidity illusion, yaitu situasi di mana uang banyak beredar, namun tidak efektif mendorong pertumbuhan karena justru menimbulkan tekanan inflasi.
Begitu inflasi naik, Bank Indonesia pasti akan merespons dengan menaikkan suku bunga acuannya. Akibatnya, tujuan awal menurunkan bunga justru tidak tercapai, malah berbalik arah.
Fenomena seperti ini pernah terjadi di beberapa negara Amerika Latin, dan risikonya besar sekali.
Jadi, meski saya mengapresiasi keberanian Pak Purbaya membuka dan membenahi sistem, langkahnya tetap perlu hati-hati.
Ia butuh tim pendukung yang kuat dan saluran komunikasi yang lebih halus agar tidak menimbulkan benturan kebijakan antar lembaga.
Jadi kalau ditanya mana yang lebih menonjol keberanian atau risiko, saya jawab, keduanya sama kuat, tapi risiko politik dan ekonomi yang menyertai keberanian itu saat ini lebih besar.
Karena dalam sistem sebesar Indonesia, keberanian tanpa koordinasi bisa berujung pada ketidakstabilan.
Satriya Madjid:
Saya melihat bahwa Pak Purbaya memang harus turun langsung ke masyarakat dan ke pelaku usaha.
Kami di Sulawesi Selatan, khususnya di kawasan timur Indonesia, sangat mengharapkan ada pertemuan regional.
Misalnya, diadakan di kawasan selatan sebagai forum dialog antara pemerintah pusat, pengusaha, dan akademisi untuk membicarakan kondisi ekonomi secara nyata di lapangan.
Kalau hanya melihat dari data atau memotret dari atas, sering kali masih ada sisi yang terlewat.
Karena itu, penting sekali bagi Pak Purbaya untuk melihat langsung realitas ekonomi di bawah, bagaimana dunia usaha bertahan, apa hambatannya, dan sektor mana yang sebenarnya masih punya potensi tumbuh cepat.
Dari situ, kebijakan bisa lahir lebih cepat dan tepat sasaran.
Kami juga berpandangan sedikit berbeda dengan kalangan akademisi.
Kalau Prof melihat dari sisi kehati-hatian fiskal dan risiko kesenjangan antara penerimaan dan pengeluaran negara, kami para pengusaha justru melihat situasi ini sebagai peluang untuk bangkit.
Selama kebijakan fiskal bisa diimplementasikan dengan cepat dan likuiditas benar-benar mengalir ke sektor riil, kami siap bergerak.
Nah, kalau Pak Purbaya mau turun ke bawah, kami siap mendampingi dan membackup secara politik maupun teknis.
Teman-teman kami yang duduk di DPR juga merupakan wakil daerah. Mereka bisa menjadi jembatan untuk menyampaikan aspirasi langsung dari konstituennya.
Dengan begitu, kebijakan yang lahir bukan hanya dari rapat-rapat di Jakarta, tetapi benar-benar mencerminkan kondisi ekonomi di daerah, terutama di kawasan timur yang potensinya besar namun sering terabaikan.(rudi salam)
| Sisi Lain Menkeu Purbaya Menteri 'Koboi' era Prabowo, Mengaji saat Terjebak Macet |
|
|---|
| Pembahasan Purbaya dan Jaksa Agung di Ruang Tertutup Terungkap, Soal Masa Lalu Pegawai Pajak |
|
|---|
| Alasan Pengamat Sebut Purbaya Tak Layak Jadi Kader Partai, Gaya Bertentangan Kultur Politik |
|
|---|
| Muhidin Gubernur Kalsel Berani Protes Keras Purbaya, Sebut Koboi Salah Tembak |
|
|---|
| Pengusaha Sulsel Minta Menkeu Purbaya Turunkan Bunga Bank dan Pajak |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.