Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Alasan PDIP Dukung Mahfud MD Masuk Komite Reformasi Kepolisian, Rekam Jejak Diungkit

Deddy menyebut, mantan calon wakil presiden itu merupakan orang bersih sehingga cocok bergabung dalam komite.

Editor: Ansar
Tribunnews.com
KOMITE REFORMASI KEPOLISIAN - Mantan Menkopolhukam, Mahfud MD. Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Deddy Sitorus mendukung keputusan Mahfud MD yang bergabung dengan Komite Reformasi Kepolisian. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD bergabung dengan Komite Reformasi Kepolisian. 

Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Deddy Sitorus, mendukung keputusan Mahfud MD.

Komite Reformasi Kepolisian dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto.

Bertujuan untuk melakukan evaluasi dan perbaikan menyeluruh terhadap institusi Polri.

"Ya bagus dong," kata Deddy di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025).

Deddy menyebut, mantan calon wakil presiden itu merupakan orang bersih sehingga cocok bergabung dalam komite tersebut.

"Orangnya kan lurus bersih ya jadi saya kira wajar saja," ujar anggota Komisi II DPR RI ini.

Bergabungnya Mahfud MD dalam Komite Reformasi Kepolisian dibenarkan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi.

"Alhamdulillah beliau (Mahfud) menyampaikan kesediaan untuk ikut bergabung," kata Prasetyo, saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/9/2025).

Namun, Prasetyo belum mengungkapkan posisi yang akan ditempati Mahfud dalam struktur komite tersebut.

Termasuk, belum ada kepastian mengenai siapa yang akan ditunjuk sebagai ketua komite.

"Ya bersama-sama lah (di Komite Reformasi Kepolisian), belum ada yang ditunjuk siapa yang akan menjadi ketua," ujar Prasetyo.

Mahfud MD menyatakan telah menerima tawaran untuk bergabung dalam Komite Reformasi Kepolisian. 

Pernyataan itu disampaikan melalui kanal YouTube Mahfud MD Official, usai dirinya berdiskusi dengan Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya.

"Dari diskusi itu, saya hanya menyampaikan konfirmasi satu hal bahwa saya menyetujui seluruh rencana Pak Prabowo untuk reformasi dan saya bisa ikut membantu dalam Tim Reformasi Polri," kata Mahfud, dikutip Selasa.

Pakar Hukum Sebut RUU Polri Bukan Reformasi Kepolisian

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, reformasi kepolisian merupakan hal yang bersifat urgensi, tapi RUU Polri bukan reformasi kepolisian.

Hal itu disampaikan Bivitri, dalam diskusi publik bertajuk 'Polisi 'Superbody': Siapa yang Mengawasi?', di kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta, pada Senin (22/7/2024).

"Reformasi kepolisian jelas urgent, tapi revisi UU (Polri) yang sekarang bukan reformasi kepolisian," kata Bivitri.

Ia mengatakan, sudah banyak kajian mengenai isu-isu yang mencuat terkait institusi kepolisian. Misalnya, soal kekerasan, korupsi, hingga persepsi publik 'no viral no justice' (tak viral, tak ada keadilan).

Kata Bivitri, reformasi kepolisian sudah sejak lama disuarakan. Terlebih, saat kasus pembunuhan yang melibatkan eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo mencuat. Namun, sayangnya hal tersebut seperti hilang terbawa angin.

Meskipun saat ini tengah ramai kabar soal RUU Polri, tapi substansi dari undang-undang tersebut dinilai tak merespresentasikan reformasi Polri, melainkan penambahan kekuasaan terhadap institusi penegak hukum itu.

"Sekarang ada revisi UU, tapi isinya bukan reformasi. Isinya adalah penambahan kekuasan," ujarnya.

Terkait hal itu, menurut Bivitri, kewenangan tak bisa dilepaskan dari pengawasan. Terlebih, Indonesia adalah negara hukum. Dimana inti dari negara hukum adalah pembatasan kekuasaan dan HAM.

"Dengan itu, setiap kewenangan negara harus memerhatikan dua aspek ini. Kalau tidak, tidak ada pembatasan kekuasaan. Kekuasaan bisa sewenang-wenang. Yang terjadi selama ini minim pengawasan, minim pertanggungjawaban," tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Bivitri menyoroti adanya newspeak atau bahasa yang mengandung ambigu, yang digunakan dalam RUU Polri.

"Kalau kita membicarkaan kepolisian itu enggak bicara like and dislike (suka atau tidak suka). Kepolisian itu jelas dibutuhkan di negara ini maupun di semua negara. Tapi kita harus lihat wajahnya yang nyata itu seperti apa," kata Bivitri.

Ia menyinggung beberapa newspeak. Pertama, penggunaan kata 'pembinaan'

"Kata pembinaan ini maknanya apa? Kenapa harus dibina? Siapa yang dibina? Dibina dengan apa?" kata Bivitri.

Kedua, penggunaan kata 'ketertiban'. Ia mencontohkan praktik kata ketertiban itu dengan kasus kematian Afif Maulana, pelajar SMP di Padang yang tewas diduga dianiaya polisi.

"Pada umumnya, ada anggapan bahwa pokoknya harus tertib. Makanya anak kecil, Afif dan teman-temannya, dia mau tawuran, melanggar ketertiban kah tawuran? Iya. Tapi apakah sampai harus diperlakulan seperti itu, kan tidak," ucapnya.

"Tapi kan timbul anggapan bahwa pokoknya asal tertib, semua libas. Itu yang mengerikan dengan newspeak seperti ini," tambahnya.

Ketiga, kata Bivitri, soal penggunaan kata 'kepentingan nasional'.

"Apa itu kepentingan nasional? Apakah kepentingan saya? Kepentingan seluruh bangsa ini? Kepentingan korporasi?" tutunya.

Ia menjelaskan, salah satu asas pembentukan perundang-undangan (PPP) adalah kejelasan rumusan atau tidak adanya ambiguitas.

"Kita haru ingat salah satu asas dalam pembentukan perundang-undangan, kejelasan rumusan. Pasal 5 huruf f UU PPP," katanya.

Ia menjelaskan mengapa asas itu diatur dalam UU. Katanya, jika ada penggunaan kata-kata yang tidak jelas dalam ketentuan UU tertentu, maka akan membuka peluang interpretasi yang terlalu luas oleh pihak tertentu.

"Dia akan membuka peluang interpretasi yang terlalu luas untuk kepentingan orang-orang yanh punya kekuasaan. Kekuasaan itu dari power politik maupun modal ya. Akhirnya di situlah terjadi yang kita namakan pasal-pasal karet."

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved