Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Guru Dipecat

PGRI Sulsel Rapat Mendadak Kawal Kasus Pemecatan 2 Guru di Luwu Utara 8 Bulan Jelang Pensiun

DPRD Luwu Utara ikut mengambil langkah tegas mengawal kasus ini hingga ke tingkat pusat.

|
syamsuriana
GURU LUTRA DI PTDH - Kolase foto dua guru ASN di Kabupaten Luwu Utara (kiri) dipecat dengan tidak hormat (PTDH) dengan Ketua PGRI Sulawesi Selatan, Prof Haswai Haris (kanan). PGRI Sulsel rapat mendadak untul mengambil langkah organisasi untuk menentukan sikap dan strategi advokasi lanjutan. 

Dari pertemuan tersebut disepakati urunan sukarela Rp20 ribu per orang tua siswa.

Bagi keluarga yang memiliki dua anak hanya membayar sekali, sedangkan yang kurang mampu tidak diwajibkan berpartisipasi.

Namun, kesepakatan tersebut berujung masalah setelah dilaporkan oleh sebuah LSM ke kepolisian.

Empat guru diperiksa, dua di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.

Berkas sempat dikembalikan kejaksaan karena tidak ditemukan unsur pidana, tetapi penyidikan dilanjutkan dengan melibatkan Inspektorat Luwu Utara, yang kemudian menyimpulkan adanya kerugian negara.

Kasus berlanjut ke Pengadilan Makassar.
Kedua guru sempat divonis bebas.

Namun setelah jaksa mengajukan kasasi, Mahkamah Agung memutus keduanya bersalah dan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara.

Usai menjalani hukuman, keduanya menerima keputusan baru yang tak kalah berat yakni Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui nota dinas berjenjang dari Kacab Disdik Wilayah 12 hingga BKD Provinsi.

Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, menyatakan pihaknya telah mengirim surat resmi permohonan grasi kepada Presiden pada 4 November 2025.

“Kami memohon kepada Bapak Presiden agar berkenan memberikan grasi kepada dua anggota kami yang telah puluhan tahun mengabdi sebagai pendidik. Mereka layak mendapat pertimbangan kemanusiaan dan keadilan,” ujar Ismaruddin, Sabtu (8/11/2025).

Ia menilai, meski keduanya sudah menjalani hukuman, keputusan PTDH menjadi pukulan berat bagi mereka dan keluarga.

“Kami menghormati keputusan hukum, namun sebagai organisasi profesi, PGRI juga punya tanggung jawab moral memperjuangkan martabat guru. Mereka bukan hanya pelaku, tetapi juga korban dari sistem yang perlu diperbaiki,” jelasnya.

Surat bernomor 099/Permhn/PK-LU/2025-2030/2025 itu juga ditembuskan ke Ketua DPR RI, Gubernur Sulsel, Bupati dan DPRD Luwu Utara, serta Pengurus Besar PGRI di Jakarta.

“Kami berharap langkah ini membuka ruang dialog dan pertimbangan yang lebih luas. Guru yang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan seharusnya tetap dihargai, bahkan ketika menghadapi masalah hukum,” tambahnya.

Ia menegaskan, permohonan grasi dan peninjauan kembali (PK) bukan bentuk penolakan terhadap keputusan pengadilan, melainkan upaya mencari keadilan berimbang dengan mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan pengabdian.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved