Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Guru Lutra Batal Dipecat

Kisah Putra Rasnal Kuras Tabungan dan Jual Mobil Demi Jaga Marwah Keluarga di Tengah Vonis

Rasnal, mantan Kepala Sekolah SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan jadi aparatur sipil negara (ASN) penerima rehabilitasi dari Prabowo Subianto.

Penulis: Muh. Sauki Maulana | Editor: Muh Hasim Arfah
Dok Pribadi/tribun timur
KURAS TABUNGAN- Kolase foto Muhammad Alfaraby Rasnal bersama Rasnal, mantan Kepala Sekolah SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Rehabilitasi Presiden Prabowo Subianto ini menjadi babak akhir dari drama kasus hukum Rasnal dan Abdul Muis. 

TRIBUN-TIMUR.COM, LUWU UTARA – Sejarah mencatat seorang guru bernama Rasnal, mantan Kepala Sekolah SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan jadi salah satu aparatur sipil negara (ASN) penerima rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto.

Keputusan ini memulihkan hak, harkat, dan martabatnya.

Rehabilitasi Presiden Prabowo Subianto ini menjadi babak akhir dari drama kasus hukum Rasnal dan Abdul Muis.

Keduanya diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) sebagai guru ASN lantaran terbukti melakukan pungutan liar melalui putusan Mahkamah Agung (MA).

Rasnal dan Abdul Muis pun sempat dijatuhi hukuman 1 tahun 2 bulan dari Mahkamah Agung.

Sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Tipikor Makassar, yang memutuskan Rasnal dan Abdul Muis tidak bersalah.

Baca juga: Cerita Alfaraby Ayahnya Rasnal Ditahan Kasus Komite Rp20 Ribu, Shock, Mobil Dijual, Uang Habis

Namun, di balik narasi pemulihan oleh negara, ada kisah yang dirasakan keluarga Rasnal selama 5 tahun kasus itu bergulir.

Muhammad Alfaraby Rasnal, putra Rasnal, yang menjadi saksi mata dan penyimpan memori pahit perjuangan ayahnya melawan stigma 'koruptor' yang dijatuhkan kepada bapaknya.

Alfaraby, yang mengikuti setiap persidangan ayahnya sejak awal, membuka ceritanya dari inti masalah.

Kata dia, niat mengambil donasi dari komite sekolah bermula dari niat baik seorang pimpinan.

"Awalnya, waktu Bapak menjabat di SMA 1 Luwu Utara, proses belajar mengajar (PBM) carut-marut. Ada sepuluh guru honorer yang melapor, sudah sepuluh bulan belum digaji," bebernya kepada Tribun-Timur.com, Jumat (14/11/2025).

Sebagai kepala sekolah, Rasnal terbentur regulasi, pilihan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak bisa digunakan.

Sebab para guru honorer tersebut belum terdaftar di Dapodik dan Info GTK.

Idealnya, proses itu memakan waktu minimal dua tahun pengabdian agar kesepuluh honorer tersebut terdaftar.

Menghadapi kebuntuan sistemik ini, Rasnal pun mengambil inisiatif.

Ia menghubungi Ketua Komite Sekolah, Agung Piatong dan mengadakan rapat dengan perwakilan orang tua siswa.

Menurut Alfaraby, setidaknya hadir 200 dari 1.000 orang tua siswa.

"Bapak menyampaikan, Proses Belajar Mengajar (PBM) akan terganggu jika guru honorer ini tidak diberikan upahnya. Spontan, orang tua siswa bilang 'Oiya, anu mki, bagaimana solusinya supaya sekolah ini aktif belajar'," tutur Alfaraby.

Hasilnya adalah musyawarah mufakat berupa sumbangan sukarela.

Setelah dihitung, rata-rata sumbangan yang dibutuhkan ialah Rp17.300 per orang tua.

Jumlah itu sesuai kalkulasi kebutuhan untuk menggaji 10 guru honorer.

Namun orang tua siswa bersepakat menggenapkannya menjadi Rp20.000 per siswa.

"Menurut saya rapat itu sah, dan terdapat musyawarah mufakat di dalamnya," tegas Alfaraby.

Dari Sumbangan Menjadi Korupsi Non-BOS

Masalah muncul ketika seorang siswa yang bergaul dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyampaikan perihal sumbangan tersebut.

Laporan awal dugaan pungutan liar (pungli) itu kemudian ditindaklanjuti Faisal Tanjung.

Faisal merupakan seorang LSM yang mengaku dari Advokasi Investigasi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (BAIN HAM RI) Kabupaten Luwu Utara.

Faisal menyoroti kejanggalan dalam proses hukum yang terjadi.

Dia kemudian mempertanyakan adanya sumbangan sukarela tersebut kepada Abdul Muis.

Di rumah Abdul Muis, Faisal meminta agar data jumlah sumbangan dari komite sekolah dibuka secara transparan.

"Datanglah Faisal ke rumah Pak Muis tahun 2020. Dan saya tahu percakapannya. Dia datang, dia bilang 'tabe pak, boleh saya tahu sumbangan apa yang dibebankan'," tanyanya.

Kata Alfaraby, Abdul Muis pun menjawab secara profesional.

Dia kembali menanyakan keabsahan lembaga LSM yang dibawa Faisal.

"Pak Muis bilang begini, apa tupoksi mu menanyakan ke saya. Apa ada surat tugas mu. Karena ini semua ada prosedurnya. Kalau Inspektorat yang datang, baru itu bisa dilayani," beber Alfaraby.

Karena perdebatan yang cukup alot, sambung Alfaraby, terucaplah kalimat bernada tantangan dari Faisal.

Sebab saat itu, Abdul Muis kekeh untuk tidak membuka data sebelum Faisal bisa menunjukkan surat tugasnya.

"Kemudian terjadilah perdebatan dan ketegangan. Jadi Faisal 'bilang saya laporkan ki itu'. Nah ada juga versi dari Faisal, menurutnya kalau dia ditantang. Tapi setahu saya, Faisal yang duluan," katanya.

Dari sinilah, Faisal Tanjung melaporkan kasus dugaan pungli ke penyidik Polres Luwu Utara.

Kata Alfraby, tak lama bapaknya bersama tiga orang lain termasuk Abdul Muis, Ketua Komite Agung Piatong, serta Sekretaris Komite Andi Lala dimintai keterangan penyidik.

"Nah berjalanlah penyelidikan di kepolisian, hingga bapak di-BAP. Awalnya itu ada 4 orang yang ikut diperiksa. Nah 4 orang ini di BAP masing-masing beda waktu. Pak Agung Piatong misalnya hari pertama, hari kedua Pak Andi Lala Sekretaris Komite, kemudian Pak Muis dan bapak mi," jelasnya.

"Yang saya heran kenapa bapak menjadi tersangka. Nah saya tidak tahu apa yang terjadi di BAP. Sehingga nantinya keluarlah hasil penyelidikan dari saksi menjadi tersangka ke bapak dan Pak Muis," tambah Alfaraby.

Kasus ini dugaan pungli ini pun berlanjut, Alfaraby mengingat kasus ini berjalan sekitar dua tahun.

"Dari 2020 sampai 2022. Ini baru dari kepolisian ke kejaksaan, kemudian dilanjutkan ke persidangan," katanya.

Namun, berkas dugaan pungli sempat dikembalikan (P19) oleh Kejaksaan karena tidak ditemukan unsur pidana.

Hakim menilai tidak ada unsur kerugian negara, melainkan hanya kesalahan administratif.

"Saya heran, kenapa polisi tetap kekeh. Kemudian menggandeng Inspektorat Kabupaten Luwu Utara, padahal seharusnya Inspektorat Provinsi. Setelah penyelidikan kembali, katanya ditemukan kerugian negara non-dana BOS. Saya juga heran, maksudnya bagaimana kerugian negara seperti apa, karena ini uang komite. Masa yang dirugikan negara," katanya.

Alfaraby tak menyangka, setelah itu laporan dugaan pungli yang menyeret bapaknya itu kemudian berubah menjadi korupsi non-BOS setelah dilakukan audit Inspektorat Luwu Utara.

Berkas Rasnal dan Abdul Muis pun disidangkan di Pengadilan Tipikor Makassar, sekitar 6 bulan lamanya.

Setelah melalui sidang maraton, Pengadilan Tipikor Makassar memvonis Rasnal bebas pada akhir 2023.

Hakim Ketua saat itu berpendapat, hukum tertinggi adalah kesepakatan bersama.

Sebab keputusan sumbangan sukarela itu, disepakati secara kolektif, dan tidak ditemukan unsur pidana didalamnya.

Namun, sambung Alfaraby, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi.

Tak lama setelah bapaknya dipindahkan ke SMA 3 Luwu Utara, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan inkrah yang membatalkan vonis bebas Tipikor.

"Itu hari bapak sempat bilang, saya ini mau ke Kejaksaan. Tapi sudah lain-lain perasaan ku. Ternyata waktu itu sudah mau dieksekusi," kata Alfaraby lirih.

Rasnal akhirnya harus menjalani hukuman 1 tahun 2 bulan, meski akhirnya hanya menjalani 9 bulan setelah remisi.

Biaya Kemanusiaan: Stigma dan Dapur Keluarga

Momen penahanan itu adalah pukulan terberat bagi keluarga, terutama Alfaraby.

Bapaknya, seorang pendidik yang dikenal lurus, tiba-tiba harus dieksekusi di hadapan publik.

"Kami kaget, keluarga shock sekali. Saya sempat antar bapak ke Lapas Makassar," ujarnya.

Saat pertama kali dijenguk, Alfaraby menyaksikan ayahnya menangis.

"Saya ini tidak salah, saya ini seorang pendidik, bagaimana pandangannya orang kepada saya dibawa ke tempat seperti ini," ucap Alfaraby, menirukan ayahnya yang terlanjur berlinang air mata.

Tak cukup sampai di situ, stigma sosial kian memberatkan Alfaraby dan keluarga.

"Sanksi sosialnya sangat berat kepada saya. Karena banyak anggapan miring," akunya.

Ia memahami, ayahnya mengalami konflik batin yang hebat.

Apalagi selain menghadapi masalah hukum, ditambah sempat ada sedikit permasalahan keluarga di rumah.

Selama penahanan, sambung Alfaraby, dampak finansial terasa memukul.

"Sangat berpengaruh sekali ke kondisi dapur rumah. Sampai dijual itu mobil Rush, tabungan juga dikuras. Uang betul-betul habis. Bahkan nol, dan meminjam ke keluarga," katanya.

Namun, di tengah keterpurukan itu, Alfaraby merasakan kekuatan moral dari banyak pihak.

"Semua guru, orang tua siswa, dan siswa mendukung secara moral dan bahkan materil. Itu yang membuat saya merasa, kita sudah dikriminalisasi dan diskriminasi," jelasnya.

Kebanggaan di Tengah Pemulihan Hak

Titik balik datang dengan cepat.

Berkat bantuan sahabat lama Rasnal, Marjono anggota DPRD Sulsel serta bantuan Ketua Komisi E Andi Tenri Indah

Ditambah aksi solidaritas dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Luwu Utara, yang membuat kasus ini menjadi viral dan langsung direspons oleh istana kepresidenan.

"Kami sangat bersyukur sekali kepada Pak Prabowo, karena sikapnya dia hadir di kasus kriminalisasi ini," kata Alfaraby.

Ia menambahkan, kabar pemulihan itu datang melalui pesan singkat dari ayahnya.

"Kami sudah bertemu dengan Pak Prabowo, dan alhamdulillah kami dibebaskan segala tuntutan. Dipulihkan hak dan martabatnya. Dan diberikan haknya sebagai ASN kembali," tulis Rasnal lewat pesan WhatsApp kepada Alfaraby.

Bagi Alfaraby dan keluarga, ini adalah akhir yang didambakan.

Bukan hanya pemulihan status ASN dan keuangan keluarga, tapi pemulihan nama baik ayahnya, yang ia yakini tidak pernah bersalah.

Sebagai penutup, Alfaraby menyampaikan pesan yang sarat refleksi terhadap sistem hukum.

Menurutnya, aparat penegak hukum harusnga menganalisa akan adanta mens rea di balik setiap kasus yang dilaporkan.

"Karena jika tidak ditemukan, saya rasa lebih pantas untuk restorative justice (keadilan restoratif)," tutupnya.

Klarifikasi Faisal Tanjung

Faisal Tanjung ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pelapor dua guru honorer akhirnyua muncul.

Faisal Tanjung ungkap alasan dibalik laporan terhadap dua guru di Luwu Utara terkait dugaan pungutan liar (pungli).

Kasus ini bermula dari polemik dana komite di SMAN 1 Luwu Utara.

Saat itu, pihak sekolah meminta sumbangan sukarela sebesar Rp20 ribu per bulan dari orangtua siswa untuk membantu pembayaran insentif guru honorer.

Salah satu LSM melaporkan adanya dugaan pungli dalam pengelolaan dana tersebut.

Laporan itu membuat mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara, Rasnal, dan Bendahara Komite, Abdul Muis, ditetapkan sebagai tersangka.

Keduanya sempat menjalani masa tahanan di Rutan Masamba dan menerima Surat Keputusan Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) dari Gubernur Sulsel.

Keputusan pemberhentian tersebut memicu reaksi keras dari kalangan guru.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Luwu Utara menggelar unjuk rasa menuntut keadilan bagi kedua rekan mereka yang dianggap menjadi korban kebijakan tidak proporsional.

Pada Rabu (12/11/2025), Abdul Muis dan Rasnal bersama perwakilan PGRI Luwu Utara mengadukan nasib mereka ke DPRD Sulsel.

Setelah itu, mereka berangkat ke Jakarta untuk bertemu Presiden Prabowo Subianto.

Presiden kemudian menandatangani surat rehabilitasi yang sekaligus membatalkan keputusan PTDH terhadap keduanya.

Usai keputusan tersebut, LSM yang melaporkan kasus pungli itu ramai diperbincangkan di media sosial.

Ia diketahui bernama Faisal Tanjung, Ketua Badan Advokasi Investigasi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (BAIN HAM RI) saat laporan dibuat.

Faisal menjelaskan laporannya bermula dari informasi seorang siswa SMAN 1 Luwu Utara bernama Feri, yang menceritakan adanya pungli di sekolahnya.

Selain itu, Faisal juga mendapat bukti pesan dari salah seorang guru yang meminta siswanya menuntaskan pembayaran dana komite sebelum pembagian raport.

"Ada pesan di grup kelas XII Mipa 1 waktu itu. Gurunya mengingatkan siswa untuk bayar komite sebelum pembagian raport, dan di chat itu gurunya seolah menyatakan pembagian raport tidak berjalan lancar jika dana komit tidak dibayar,"ujar Faisal Tanjung kepada Tribun-Timur.com, Jumat (14/11/2025).

Karena alasan itu, Faisal Tanjung medatangi kediaman bendahara komite sekolah.

“Saya datangi Pak Muis untuk menanyakan hal itu. Dia bilang itu sumbangan, bukan pungutan. Saya tanya, kalau sumbangan kenapa dipatok Rp20 ribu per siswa? Dia jawab itu hasil kesepakatan orang tua,” jelasnya.

“Setahu saya, sumbangan itu diperbolehkan, tapi dalam bentuk barang, bukan uang dengan nominal tertentu,” lanjutnya.

Faisal mengaku sudah berupaya mengklarifikasi dengan baik, namun menurutnya respons yang diterima justru menantang.

“Saya datang baik-baik ke rumah Pak Muis untuk klarifikasi, tapi malah ditantang. Dia bilang, kalau merasa ada pelanggaran silakan laporkan ke polisi, jadi saya buat laporan,” ujarnya.

Ia juga mempertanyakan mengapa dirinya disalahkan setelah proses hukum berjalan.

“Saya melapor berdasarkan informasi yang saya dapat. Kalau akhirnya terbukti bersalah di pengadilan, berarti laporan saya tidak salah. Tapi kenapa saya yang disalahkan?” katanya.

Faisal menegaskan tidak ada kepentingan pribadi maupun imbalan dari laporan tersebut.

“Dari proses di pengadilan sampai di provinsi itu tidak ada kaitannya dengan saya. Tapi yang beredar, saya disebut disogok, padahal itu tidak benar sama sekali,” ujarnya.

Ia mengaku kecewa karena merasa dijadikan kambing hitam.

“Di mana letak salah saya? Seakan saya dikambinghitamkan untuk menarik simpati. Siapa yang harus bertanggung jawab?” tutupnya.(*)

Laporan Jurnalis Tribun-Timur.com, Muh Sauki Maulana

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved