Sisi lain, kemudahan ini membuat seseorang bisa lebih mudah terjebak masalah utang apabila dalam prosesnya kurang berhati-hati mencari pinjaman yang baik.
Sudah bisa ditebak, akibat maraknya praktik fintech ilegal, belakangan muncul banyak kasus. Pekan lalu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menerima sekitar 1.330 pengaduan terkait layanan fintech dari 25 provinsi di Indonesia.
Ada 89 penyelenggara fintech yang diadukan, yang 25 di antaranya telah terdaftar di OJK. Substansi yang diadukan ke LBH bervariasi, mulai dari penagihan cicilan pinjaman yang tidak sopan hingga pelanggaran terhadap kerahasiaan data nasabah peminjam.
Diberitakan, Zulfadhli (35), nasabah pinjaman online yang berprofesi sebagai sopir taksi ditemukan tewas gantung diri di kamar kosnya di Jakarta Selatan. Dalam surat wasiatnya, mendiang meminta maaf kepada anak-anak dan istrinya, serta mengungkapkan alasannya mengakhiri hidupnya.
Baca: Doktor Anas Iswanto Terpilih Ketua IKA Ilmu Ekonomi Unhas
Bukan itu saja, Zulfadhli juga berpesan agar OJK dan Kepolisian memberantas praktik pinjaman online yang dinilainya membuat "jebakan setan".
Lagi-lagi muncul masalah baru dan ada korban baru semua kalang kabut dan mau menjadi “pahlawan”. Kenapa hal ini bisa terjadi, bukankah fintech-fintech tersebut menawarkan produknya secara bebas dan terang-terangan?
Hampir di semua medsos sering masuk di akun kita iklan-iklan yang berkaitan dengan jasa fintech-fintech tersebut. Apakah otoritas dan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab tidak bisa bergerak lebih cepat tanpa harus menunggu jatuh korban? Kenapa kita tidak belajar dari kasus-kasus sebelumnya, misalnya investasi bodong, travel umroh, dll.
Hal lain, kasus ini menunjukkan kalau edukasi dan sosialisasi mengenai literasi keuangan di masyarakat kita masih sangat rendah, masih banyaknya warga yang terjebak rentenir karena memang belum mengetahui secara detail tentang produk-produk lembaga keuangan sehingga pilihannya menggunakan jasa rentenir.
Semoga bermanfaat.