Siapa Budayawan Ishak Ngeljaratan?

Penulis: Thamzil Thahir
Editor: Suryana Anas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Thamzil Thahir dan Ishak Ngeljaratan (kanan)

Ishak juga banyak dikenal di fakultas lain, karena saat itu dia mengajarkan mata kuliah dasar; filsafat, ilmu budaya, dan logika.

Ishak menikahi salah satu dosen sastra Indonesia, Dra Nannu Nur (78). 

Kini, menjelang usia 83 tahun, Ishak sudah menjadi kakek buyut dari empat cicit, kakek dari 9 cucu, dan ayah dari 4 anak. 

“Kakek yang punya cucu banyak, tapi jadi kakek yang punya cicit, saya merasa sangat beruntung masih bisa bermain dengan mereka,” ujar Ishak kepada Tribun, Senin (14/5/2018).

Ishak kerap menceritakan anaknya yang kini masih kuliah teknik dan kerja di Amerika Serikat.

ishak juga senang musik dan bermain drama. Bersama mendiang sstrawan M Husni Jamaluddin, Rahman Arge, Arsal Alhabsy, Ishak pernah lama mengelola Dewan Kesenian Makassar (DKM).

Ishak kerap mementaskan drama dan salah satu pembuat arragement musik Mars Unhas.

Meski kerap mengutip pesan-pesan ilahi dari banyak kitab suci, Ishak sendiri menggambarkan agama sebagai anugerah transendental dari langit yang turun ke manusia secara personal, bukan komunal. 

Di mata Ishak, agama itu semacam hidayah individu yang diajarkan ke banyak umat untuk membentuk peradaban.

Ishak memang langganan banyak organisasi kader berbasis agama. HMI, PMKRI, GMNI, GMKI, PMII, IMM, Pemuda Ansor, dan ormas keagamaan kerap mengundangnya jadi pembicara toleransi.

Namun, anomalinyam dia sendiri tak sepakat dengan penggunaan istilah toleran. “Kamu catat ini. Saya sejak dulu tidak setuju dengan istilah toleransi beragama. Yang cocok itu adalah akseptansi, saling menerima agama orang lain dengan azas harmoni dan cinta. Toleransi itu kebersamaan, sedangkan akseptansi adalah kebersesamaan. Di toleransi identitas saya melebur menjadi kami. Sedangkan di akseptansi, identitas saya tetap ada dan diterima oleh orang lain. Itulah esensi Bhineka Tunggal Ika,” ujarnya kepada Tribun, sesaat sebelum naik petepete sepulang mengajar di Sekolah Tinggi Teologia (STT) INTIM di Jl Baji Dakka, selatan Makassar, Jumat (11/5/2018).

Empat dekade sudah Ishak mengajar di STT Intim. 

Dia mengaku menikmatinya, meski mahasiswa yang ikut kuliahnya tiga orang belaka.

"tadi yang harusnya ikut kuliah Filsafat dan Logika empat, tapi satu orang sakit. Tapi Pak Ishak tetap semangat dan seperti dulu," ujar Lenny (21), mahasiswa semester VI Fakultas Pendidikan Agama Kristen STT INTIM kepada Tribun, Jumat sore, satu jam setelah Ishak meninggalkan ruang kelasnya.

Pengakuan serupa juga dikemukakan Hamzah Epikorus Asakameng.

Mahasiwa S2 STT Intim ini mengaku sudah diajar Ishak sejak tahun 2012, kala dia baru kuliah di fakuktas teoligia.

"Mungkin beliau ini dosen paling senior di sini. Rektor, dosen di STT Intim, hampir semua dulunya mahasiswanya. 

Beliau juga pembimbing skripsi saya," ujar Hamzah, calon pastor dari NTT itu.

Hamzah menulis skripsi berjudul; Kerukunan Umat Beragama; Studi kasus islam dan kristen di Pulau Alor, Kabupaten Alor NTT.

"Prof Ishak paham dan tahu betul hampir semua teori dan kasus kasus kerukunan beragama," ujar Hamzah yang kagum dengan kedisiplinan dan kesederhanan Ishak Ngeljaratan.

Baginya, Ishak adalah maha guru filsafat kehidupan. ishak yang dia sapa prof, mengajarkan apa yang diteladani dengan kalimat sederhana, tapi mudah dimengerti.

"Prof tak mengajarkan kedisplinan tapi menunjukkan caranya, dan meski naik petepete, nyaris tak pernah dia terlambat mengajar."

Perihal kebiasaan menumpang angkutan umum kala pergi dan pulang mengajar, Ishak punya dalil.

"Hanya di pete-pete saya bisa menemukan manusia baru setiap hari. Kami tersenyum, bercakap tanpa menanyakan nama."

Ishak sendiri mengaku banyak yang menyapanya dengan Prof. padahal sesungguhnya, dia tak berhak menyandang gelar akademik tertinggi itu.

"Indonesia ini sebenarnya, sudah kelebihan Profesor, tapi kekurangan guru besar," ujar seniman yang pernah membuat naskah drama berjudul Profesor Swasta, yang  salah satu pemainnya Fahmi Syarief dan dipentaskan di Balai Manunggal M Jusuf, tahun 1991 lalu.

Di usianya yang sudah 83 tahun, 17 September 2018 nanti, Ishak mengaku masih tetap menikmati jadi guru induk ilmu pengetahuan.

Saban melangkah kaki dari dan ke tempat mengajar, dia senantiasa berkontemplasi dan merenungkan tentang nilai hidup dan kehidupan yang tak pernah berubah. 

"Yang berubah adalah manusianya," ujarnya.

ishak mengaku dirinya tak takut mati dan sudah lama menantikan datangnya momen kesempurnaan hidup itu. 

"Mati itu takdir semua mahluk, mati itu adalah awal bertemunya hamba dengan tuhannya, dia peringatan hidup yang bisa datang setiap saat." (*)

Berita Terkini