TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Pemerhati budaya dan penganjur pluralisme Indonesia berduka.
Doktorandus (Drs) Ishak Ngeljaratan MS, Senin (16/7/2018) pukul 07.00 wita, menghembuskan nafas terakhir di ruang ICU RS Stella Maris, Kelurahan Losari, Kecamatan Ujungpandang, Makassar, Sulawesi Selatan.
Sebelum dilarikan ke RS Stella Maris, Sabtu (14/7/2018), Ishak sempat dirawat 2 hari di RS Jalla Ammari, TNI Angkatan Laut, Tabaringang, Ujungtanah, Makassar.
"kami sekeluarga liburan ke Bali. Di sana bapak sudah kelelahan dan minta pulang." Kata Dra Nannu Nur (79), istri almarhum di rumah duka, Jl Masjid Al Ikhlas Perumdos Unhas, Tamalanrea.
Baca: Pendeta Zakaria: Ishak Ngeljaratan Juga Seorang Seniman
Baca: Prof Qasim Mathar Melayat di Rumah Duka Ishak Ngeljaratan
Di RS Stella Maris, ishak masih bicara dan meminta putrinya, Luna Ishak membacakan tulisan rutinnya di Harian FAJAR Makassar.
Momen pembacaan tajuk rencana itu lalu viral di media sosial, saat kabar duka itu, datang.
Siapa Ishak Ngeljaratan?
Berikut artikel yang pernah diturunkan Tribun Timur, setelah peringatan Kanaikan Isa Almasih, 16 Mei 2018 lalu;
Artikel itu dimuat dalam empat seri dan bertepatan dengan insiden bom Surabaya, sebelum Ramadan.
Penulis artikel itu, Thamzil Thahir, juga merangkumnya dalam blog WordPress dengan judul; Ishak Ngeljaratan; Guru Filsafat yang Tak Takut Mati ;
--
JIKA negara adalah instrumen legitimasi budaya, maka Ishak Ngeljaratan (82) sudah berhak bergelar budayawan.
Tanggal 23 Agustus 2016, pada tahun kedua Joko Widodo menjabat Presiden Indonesia, negara mengundang sekitar 30-an budayawan se-Nusantara.
Baca: Pangdam Agus Mengaku Kehilangan Sosok Ishak Ngeljaratan
Ishak Ngeljaratan, yang kala itu, sisa menghitung hari merayakan ulang tahun ke-80-nya, masuk dalam daftar undangan di pertemuan tertutup untuk media massa itu.
Dua jam lebih Presiden mendengar masukan dari para budayawan Tanah Air di ruang utama Gedung Galeri Nasional, Museum Indonesia, Jl Medan Merdeka Timur No 14, Kawasan Gambir, Jakarta Pusat.
Sekretariat Negara, sebagaimana rilis dan berita media massa saat itu, menyebut budayawan yang diundang adalah wakil pejuang budaya dan kemanusiaan dari seluruh Indonesia.
Namun, faktanya, dari 30 nama undangan hanya Ishak Ngeljaratan-lah, budayawan yang mewakili timur Indonesia.
Sekitar 87% budayawan yang hadir dari pulau Jawa. Sisanya dari Bali, Sumatera, dan Kalimantan.
Bukan ‘mewakili’ tanah kelahirannya, di Tanimbar, Kepulauan Timur Laut Provinsi Maluku, Ishak malah diklaim negara, “mewakili” budayawan Makassar.
Di media sosial di Jawa, banyak suara protes kenapa budayawan versi mereka tak diundang.
Namun di Makassar sebaliknya. ia Justru banyak diapresiasi.
Ishak memang kerap lebih “Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja” dari mereka yang lahir dan besar di selatan pulau Sulawesi.
Prof Dr M Qasim Mathar (73), Cendekiawan Muslim yang juga kolega dialog Ishak, menyebut sahabatnya dikenal banyak orang.
"Kalau tak pernah berjumpa dengannya, nama Ishak Ngeljaratan dijumpai pembaca pada tulisan dan wawancaranya di media cetak dan elektronik," ujar Qasim yang juga berlatar belakang ilmu filsafat, seperti Ishak.
Qasim menyebut Ishak sebagai seorang Katholik yang selalu mengapresiasi yang bermartabat kepada agama-agama lainnya.
"Dia," tambah Qasim, "dengan fasih bisa menjelaskan ajaran "rahmatan lil alamin" dalam Islam sefasih dia menerangkan ajaran kasih Kristus dalam teologi Kristen."
Di mata Qasim, Ishak selalu melihat Manusia berbeda dengan makhluk lainnya, karena hanya pada manusia ada kekuatan kemanusiaan. Dengan kemanusiaan itu pula manusia sanggup menghargai segenap makhluk selain dirinya. Ruh kemanusiaan itulah yang membuat Ishak Ngeljaratan tetap hadir di tengah-tengah kita," ujar Qasim kepada Tribun, Jumat (11/5/2018).
***
Menetap di Makassar sejak dekade akhir 1950-an, Ishak banyak melihat, merasakan dan berinteraksi dengan pelaku dan akademisi budaya di Sulsel.
“Pak Ishak itu angkatan dosen pertama Fakultas sastra Unhas. Beliau dosen seangkatan dengan Prof Mattulada dan Prof Mister Zainal Abidin Farid MS,” ujar Dahlan Abubakar MA, kandidat doktor ilmu sastra dan budaya dari Unhas, Senin (14/5/2018).
Dua nama yang diistilahkan ‘dosen seangkatan’ Ishak Ngeljaratan, oleh mantan Pemimpin Redaksi harian Pedoman Rakyat (1947-2007) ini, adalah dua mendiang guru besar ilmu budaya dan sastra dari Unhas.
Ishak termasuk mahasiswa sekaligus dosen ‘terlama’ di Fakultas Sastra dan Budaya Unhas. “Kalau saya hampir 10 tahun kuliah di Fakultas Sastra, karena asik jadi wartawan.
Kalau Pak Ishak itu, lebih lama lagi, mungkin hampir 15 tahun, Kenapa? Selain dia aktif urus budaya, sastra dan jadi wartawan.Dia bilang semua yang mau menguji skripsi dia adalah mahasiswanya semua,” ujar mahasiswa Sastra Unhas angkatan 1972, M Dahlan Abubakar.
Meski resmi pensiun dari status dosen di Fakultas Sastra Unhas, namun Ishak masih rutin masuk kampus memberi kuliah lepas dan jadi pembicara seminar budaya dan kemanusiaan.
Ahmad Sudirman Kambie, mahasiswa Fakultas Sastra Unhas angkatan 1996, mengenang. Dialah yang menjadi “ketua panitia” saat Alwy Rachman dan Prof Dr Nurhayati Rachman dua dosen senior fakultas tertua ke-4 di Unhas (setelah Ekonomi, Hukum, dan Teknik) itu, menggagas pelepasan Ishak Ngeljaratan di awal tahun 2000-an.
“Seingat saya, sejak kita melepas Pak Ishak, mata kuliah bahasa Latin di sastra juga pergi dan tak pernah kembali ke Unhas lagi,” ujar Kambie, yang kini menjabat Redaktur Pelaksana harian Tribun Timur.
Kambie mengenang, jika Ishak menggunakan istilah latin dalam beberapa matakuliah yang diajarkan; seperti ilmu budaya dasar, filsafat, logika, filsafat ilmu, apalagi jika mata kuliah bahasa latin. “Setahu kita di kampus saat itu, Pak Ishak fasih berbahasa Inggris, Jerman, Belanda, dan Latin. Bahasa yang jadi sumber utama ilmu filsafat,” ujarnya.
Meski disebut Nasrani dan pernah sekolah pendeta Katolik, Ishak tidak alergi dengan masjid. Bahkan di banyak kesempatan, dia mengajar mahasiswa Sastra di Musala.
“Saya pertama kali dengar ceramah Pak Ishak di Musala Al Adab Fakultas Sastra Unhas saat masih gundul, mahasiswa baru,” ujar Kambie, alumnus Sastra Asia Barat Fakultas Sastra Unhas.
Ishak Ngeljaratan memang mencintai fakultas itu sepenuh hati. “Kalau pengurus senat mau bikin seminar yang pembicaranya tak diberi honor, ya undang saja Pak Ishak. Cukup dijemput pakai motor, dia akan datang berbagi ilmu dan hikmat kebudayaan,” ujar Kambie.
Selepas kuliah di sekolah tinggi Teologia dan Kependetaan di Minahasa, Sulawesi Utara, Ishak ke Makassar, di awal dekade 1950-an.
“Beliau itu pernah cerita, dia keluar dari sekolah pendeta di Minahasa tahun 1940-an, sebab jauh-jauh dari Tanimbar, setiap hari hanya dengar khutbah tentang Ilahi, tapi khutbah itu melupakan sisi kemanusiaan yang juga titipan ilahi di bumi,” ujar Dahlan.
Dahlan menyebut, Ishak sebagai guru penulisan kreatifnya di awal dekade 1970-an, sekaligus pengamal ilmu filsafat kemanusiaan dan ketuhanan yang belum ada duanya. “Dia lebih Islami dari seorang Muslim. Dia lebih Bugis dan Makassar dari mereka yang lahir di sini,” kata Dahlan, jurnalis senior kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat.
Sejak fakultas sastra Unhas itu dibuka Desember 1960-an, Ishak sudah jadi mahasiswa sekaligus dosen.
Gelar Magister Sains (MS) di belakang nama Ishak diraih saat kuliah di Manchester University di UK. Ishak juga pernah jadi dosen tamu di ANU, Australia dekade 1990-an.
Ishak juga banyak dikenal di fakultas lain, karena saat itu dia mengajarkan mata kuliah dasar; filsafat, ilmu budaya, dan logika.
Ishak menikahi salah satu dosen sastra Indonesia, Dra Nannu Nur (78).
Kini, menjelang usia 83 tahun, Ishak sudah menjadi kakek buyut dari empat cicit, kakek dari 9 cucu, dan ayah dari 4 anak.
“Kakek yang punya cucu banyak, tapi jadi kakek yang punya cicit, saya merasa sangat beruntung masih bisa bermain dengan mereka,” ujar Ishak kepada Tribun, Senin (14/5/2018).
Ishak kerap menceritakan anaknya yang kini masih kuliah teknik dan kerja di Amerika Serikat.
ishak juga senang musik dan bermain drama. Bersama mendiang sstrawan M Husni Jamaluddin, Rahman Arge, Arsal Alhabsy, Ishak pernah lama mengelola Dewan Kesenian Makassar (DKM).
Ishak kerap mementaskan drama dan salah satu pembuat arragement musik Mars Unhas.
Meski kerap mengutip pesan-pesan ilahi dari banyak kitab suci, Ishak sendiri menggambarkan agama sebagai anugerah transendental dari langit yang turun ke manusia secara personal, bukan komunal.
Di mata Ishak, agama itu semacam hidayah individu yang diajarkan ke banyak umat untuk membentuk peradaban.
Ishak memang langganan banyak organisasi kader berbasis agama. HMI, PMKRI, GMNI, GMKI, PMII, IMM, Pemuda Ansor, dan ormas keagamaan kerap mengundangnya jadi pembicara toleransi.
Namun, anomalinyam dia sendiri tak sepakat dengan penggunaan istilah toleran. “Kamu catat ini. Saya sejak dulu tidak setuju dengan istilah toleransi beragama. Yang cocok itu adalah akseptansi, saling menerima agama orang lain dengan azas harmoni dan cinta. Toleransi itu kebersamaan, sedangkan akseptansi adalah kebersesamaan. Di toleransi identitas saya melebur menjadi kami. Sedangkan di akseptansi, identitas saya tetap ada dan diterima oleh orang lain. Itulah esensi Bhineka Tunggal Ika,” ujarnya kepada Tribun, sesaat sebelum naik petepete sepulang mengajar di Sekolah Tinggi Teologia (STT) INTIM di Jl Baji Dakka, selatan Makassar, Jumat (11/5/2018).
Empat dekade sudah Ishak mengajar di STT Intim.
Dia mengaku menikmatinya, meski mahasiswa yang ikut kuliahnya tiga orang belaka.
"tadi yang harusnya ikut kuliah Filsafat dan Logika empat, tapi satu orang sakit. Tapi Pak Ishak tetap semangat dan seperti dulu," ujar Lenny (21), mahasiswa semester VI Fakultas Pendidikan Agama Kristen STT INTIM kepada Tribun, Jumat sore, satu jam setelah Ishak meninggalkan ruang kelasnya.
Pengakuan serupa juga dikemukakan Hamzah Epikorus Asakameng.
Mahasiwa S2 STT Intim ini mengaku sudah diajar Ishak sejak tahun 2012, kala dia baru kuliah di fakuktas teoligia.
"Mungkin beliau ini dosen paling senior di sini. Rektor, dosen di STT Intim, hampir semua dulunya mahasiswanya.
Beliau juga pembimbing skripsi saya," ujar Hamzah, calon pastor dari NTT itu.
Hamzah menulis skripsi berjudul; Kerukunan Umat Beragama; Studi kasus islam dan kristen di Pulau Alor, Kabupaten Alor NTT.
"Prof Ishak paham dan tahu betul hampir semua teori dan kasus kasus kerukunan beragama," ujar Hamzah yang kagum dengan kedisiplinan dan kesederhanan Ishak Ngeljaratan.
Baginya, Ishak adalah maha guru filsafat kehidupan. ishak yang dia sapa prof, mengajarkan apa yang diteladani dengan kalimat sederhana, tapi mudah dimengerti.
"Prof tak mengajarkan kedisplinan tapi menunjukkan caranya, dan meski naik petepete, nyaris tak pernah dia terlambat mengajar."
Perihal kebiasaan menumpang angkutan umum kala pergi dan pulang mengajar, Ishak punya dalil.
"Hanya di pete-pete saya bisa menemukan manusia baru setiap hari. Kami tersenyum, bercakap tanpa menanyakan nama."
Ishak sendiri mengaku banyak yang menyapanya dengan Prof. padahal sesungguhnya, dia tak berhak menyandang gelar akademik tertinggi itu.
"Indonesia ini sebenarnya, sudah kelebihan Profesor, tapi kekurangan guru besar," ujar seniman yang pernah membuat naskah drama berjudul Profesor Swasta, yang salah satu pemainnya Fahmi Syarief dan dipentaskan di Balai Manunggal M Jusuf, tahun 1991 lalu.
Di usianya yang sudah 83 tahun, 17 September 2018 nanti, Ishak mengaku masih tetap menikmati jadi guru induk ilmu pengetahuan.
Saban melangkah kaki dari dan ke tempat mengajar, dia senantiasa berkontemplasi dan merenungkan tentang nilai hidup dan kehidupan yang tak pernah berubah.
"Yang berubah adalah manusianya," ujarnya.
ishak mengaku dirinya tak takut mati dan sudah lama menantikan datangnya momen kesempurnaan hidup itu.
"Mati itu takdir semua mahluk, mati itu adalah awal bertemunya hamba dengan tuhannya, dia peringatan hidup yang bisa datang setiap saat." (*)