Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Jejak Digital Wajib Pajak: Mengubah Big Data Konsumen Menjadi Pendapatan Besar Negara

Pajak sebelumnya didasarkan pada formulir kertas dan laporan yang diajukan secara langsung.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Andi Wawan Mulyawan, SE., M.Si Mahasiswa Program Doktoral UIN Alauddin Makassar 

Oleh: Andi Wawan Mulyawan

Mahasiswa Program Doktoral UIN Alauddin Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - Kita meninggalkan jejak dengan hampir setiap klik. Data kita direkam saat kita membeli pulsa melalui aplikasi, memesan makanan secara online, atau bahkan saat kita hanya menggulir produk di e-commerce.

Tetapi apakah kita pernah berpikir bahwa jejak digital kecil ini sebenarnya dapat membuat perbedaan besar bagi negara?

Era digital adalah era di mana kita menjalani kehidupan kita secara berbeda, dan negara juga harus memandang kita secara berbeda.

Pajak sebelumnya didasarkan pada formulir kertas dan laporan yang diajukan secara langsung.

Sekarang data digital ada di mana-mana, hanya menunggu untuk diinterpretasikan.

Pertanyaannya sekarang bukan apakah data tersedia, tetapi apa yang akan kita lakukan dengannya?

Setiap pembelian online, penilaian, preferensi belanja, bahkan waktu yang dihabiskan seseorang menggunakan aplikasi, membawa petunjuk tentang perilaku ekonomi orang tersebut.

Kumpulan data besar dari dompet elektronik, layanan transportasi online, fintech, dan platform digital lainnya membawa potensi untuk menggambarkan gambaran keuangan seseorang yang jauh lebih realistis dan dinamis, dibandingkan dengan cara saat ini.

Tetapi memiliki data adalah satu hal, dan mengetahui orang di balik data adalah hal lain sepenuhnya. Disinilah tantangan dan peluang besar.

Negara tidak boleh tergoda untuk menjadi tidak lebih dari 'mata-mata digital'. Bukan invasi yang kita butuhkan, tetapi sistem yang cerdas dan etis yang mengubah data menjadi sarana kolaborasi, bukan kontrol.

Ini bukan pengawasan tetapi cara baru untuk melihat lanskap ekonomi masyarakat. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara yang memanfaatkan ketersediaan data untuk kepentingan negara.

Adopsi dompet elektronik, skala UMKM digital, dan aktivitas ekosistem startup lokal menghasilkan data. Tetapi apakah kita memanfaatkan semua itu sebaik-baiknya?

Bayangkan jika big data konsumen dapat dianalisis untuk secara otomatis menentukan kewajiban pajak.

Misalnya, seorang pedagang pasar yang menjalankan usaha kecil tidak perlu bingung dengan pengembalian pajak.

Sistem dapat memberikan perkiraan dari aktivitas digital mereka. Dan tanpa menggunakan jargon, mereka dapat dibimbing oleh chatbot cerdas yang ramah dan tidak menghakimi.

Namun transparansi, dan kepercayaan, sangat penting. Inilah apa, dan mengapa, dan bagaimana publik memiliki hak untuk tahu.

Ketika orang merasa mereka menjadi saksi, yang berkembang bukanlah kepatuhan, tetapi kecemasan. Jawabannya bukan untuk menyembunyikan kecanggihan tetapi untuk mengungkapkannya dengan cara yang mengundang secara manusiawi.
 
Pendidikan publik menjadi penting. Data harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan sementara laporan singkat, rekomendasi, bahkan kontribusi yang dihargai.

Sekarang, data tidak lagi milik elit teknokrat, tetapi berfungsi sebagai sarana kerja sama fiskal yang adil. Big data membuat sentuhan pribadi menjadi lebih penting.

Ini hanya alat bantu. Dan masih ada peran untuk konselor dan penasihat, jika hanya untuk membantu menghubungkan orang dengan sistem digital yang semakin banyak.

Negara yang menang bukanlah yang menghasilkan data terbanyak tetapi yang dapat mengubah data tersebut menjadi cerita, bukan hanya angka.

Pendapatan negara di masa depan bukan lagi jalan satu arah. Karena dunia berubah dengan cepat dan tak terduga.

Namun jika negara dapat belajar mengikuti pola rakyatnya, melalui jejak elektronik yang dinavigasi dengan empati dan kebijaksanaan,  suatu hari nanti, sangat mungkin, big data konsumen akan berarti untuk pendapatan besar negara.

Pajak di masa depan tidak datang dari surat peringatan; mereka datang dari sistem yang tahu bagaimana menawarkan bantuan. Setiap orang bisa mendapatkan dokumen pajak yang dapat dibaca seperti laporan keuangan pribadi. Dari perasaan bahwa negara ada untuk sesuatu selain mengumpulkan, tetapi juga untuk memahami.

Jejak digital adalah dialog yang tenang antara bangsa dan rakyatnya. Sekarang saatnya kita mendengarkan. Bukan untuk berpose seperti Tuhan, tetapi untuk membangun sistem fiskal yang rasional, terbuka, dan solider.

Contoh kasus pedagang camilan rumahan yang menempuh jalur digital. Izin usaha tidak pernah diurus, apalagi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Tetapi mereka dapat melakukan transaksi dompet elektronik hingga jutaan rupiah setiap hari. Mereka tidak merasa seperti pelaku ekonomi terkemuka, karena semuanya adalah pekerjaan rumah. Namun data digital mereka menggambarkan gambaran perputaran ekonomi yang besar.

Jika sistem pajak dapat membaca ini dengan empati, mungkin pendekatan pajak dapat dimulai bukan dari kewajiban, tetapi dari bantuan.

Bayangkan platform pasar atau dompet elektronik menawarkan layanan pendidikan pajak yang ringan dan kontekstual.

Ketika seorang pelaku bisnis tertentu menerima transfer pembayaran, katakanlah sebagai bagian dari pembayaran standar, sistem dapat menampilkan pemberitahuan informasi: "Selamat -- bisnis Anda sedang berkembang! Mari kita cari tahu bagaimana berkontribusi dengan mudah kepada negara."

Memahami pajak tidak hanya soal mengikuti proses teknis, tapi juga bagaimana pendekatan dilakukan. Jika caranya sopan, tidak merendahkan, dan memberi ruang untuk memilih, orang akan lebih terbuka.

Baik di kota maupun di desa, perjuangan membangun literasi pajak yang baik masih panjang. Banyak yang enggan membicarakan pajak, karena terlanjur melihatnya sebagai urusan rumit dan penuh risiko.

Jika kita memproses big data dengan niat untuk melayani, daripada sekadar pengawasan, big data dapat menjadi jembatan.

Melalui data, seperti kelompok masyarakat tertentu mana yang harus diberi pengecualian atau insentif, diperlakukan sesuai dengan kondisi dan keadaannya.

Ini bukan hanya masalah meningkatkan rasio pajak tetapi merancang rasa kepemilikan bersama atas sistem fiskal.

Ketika warga percaya bahwa data mereka digunakan untuk membangun sistem yang adil, untuk membantu mereka berkembang, hubungan antara negara dan rakyat menjadi lebih kuat. Jika ada pendapatan besar, itu hanya akan datang jika didasarkan bukan pada ketakutan, tetapi pada kepercayaan.

Dan, tentu saja, masalah terbesar adalah ketidakmampuan pemerintah dalam menangani data secara bertanggung jawab.

Yang dibutuhkan adalah kebijakan perlindungan data dan transparansi yang kuat, serta saluran pengaduan publik yang memberikan jalan keluar nyata. Tanpa itu, data hanya akan menjadi sumber kecurigaan, bukan kolaborasi.

Masa depan pajak ada pada cara negara mendengarkan denyut nadi aktivitas ekonomi rakyat melalui jejak digital mereka — dengan empati, bukan kecurigaan; dengan dukungan, bukan paksaan.

Dengan pendekatan seperti itu, tidak ada yang dapat menghentikan Indonesia untuk memimpin dunia dalam pengembangan sistem pajak digital yang canggih dan inklusif serta berakar.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kajili-jili!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved