Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Prof Jamaluddin Jompa dan Tanggung Jawab Seorang Akademisi Sejati

Prof Jamaluddin Jompa (JJ) kembali mengajukan diri sebagai calon Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) untuk periode 2026–2030

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Achmad Firdaus SIP MIR, mantan Mahasiswa, pegawai Unhas, dan mahasiswa Program Doktor di People Friendship of Unviersity Moskow, Rusia 

Achmad Firdaus SIP MIR

Mantan Mahasiswa, Pegawai Unhas, dan Mahasiswa Doktor di People Friendship of Unviersity Moskow, Rusia

KETIKA Prof Jamaluddin Jompa (JJ) kembali mengajukan diri sebagai calon Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) untuk periode 2026–2030, banyak yang bertanya-tanya: “Mengapa seorang akademisi dengan segudang prestasi internasional masih bersedia mengabdi di kampus yang sama untuk kedua kalinya?”

Bagi saya—seorang alumni Unhas yang pernah bekerja di lingkungan kampus tersebut dan kini tengah menempuh studi doktoral di Rusia—jawaban atas pertanyaan itu tidak sesederhana ambisi jabatan.

Keputusan Prof JJ, menurut saya, adalah wujud dari tanggung jawab moral seorang ilmuwan sejati kepada almamater dan masyarakat yang telah membesarkannya.

Prof JJ adalah sosok langka dalam dunia kepemimpinan akademik di Indonesia.

Ia naik bukan karena intrik politik kampus, melainkan karena kompetensi dan rekam jejak ilmiah yang teruji.

Kariernya berawal dari penelitian kelautan dengan fokus pada terumbu karang—sebuah bidang yang mungkin dianggap terlalu “niche” oleh sebagian orang.

Namun, dari titik itulah ia membangun reputasi internasional.

Karyanya tentang restorasi ekosistem pesisir tidak hanya menghiasi halaman jurnal bereputasi dunia, tetapi juga berdampak nyata di pesisir Sulawesi, memberi manfaat langsung bagi masyarakat lokal.

Di era ketika banyak universitas dipimpin oleh birokrat murni, Prof JJ menjadi bukti bahwa seorang akademisi dengan rekam jejak riset kuat bisa sekaligus menjadi pemimpin yang visioner.

Ia tidak hanya mengelola administrasi, tetapi menghidupkan atmosfer akademik yang sehat.

Salah satu hal yang paling saya hargai adalah keterbukaannya terhadap kritik.

Sebagai mantan pegawai Unhas, saya menyaksikan sendiri bagaimana ia rutin mengadakan forum dialog dengan mahasiswa, dosen muda, hingga tenaga kependidikan.

Forum-forum itu bukan sekadar formalitas, melainkan ruang diskusi yang sungguh mendengarkan aspirasi—sebuah sikap yang masih jarang ditemui dalam birokrasi perguruan tinggi di Indonesia.

Kisah Prof JJ memberi pelajaran penting: kepemimpinan akademik sejati lahir dari rahim ilmu pengetahuan, bukan dari pertimbangan politik atau kalkulasi kekuasaan.

Integritas, keterbukaan, dan keberanian mengambil keputusan berbasis data adalah fondasi membangun universitas berkelas dunia.

Kampus membutuhkan pemimpin yang punya visi jauh ke depan, yang memandang universitas bukan hanya sebagai institusi pendidikan, tetapi juga sebagai motor perubahan sosial, ekonomi, dan budaya.

Sebagai alumni yang kini berada di luar negeri, saya sering teringat wejangan Prof JJ: “Jadilah ilmuwan yang memecahkan masalah lokal dengan perspektif global.”

Nasihat itu bukan sekadar slogan.

Dalam kepemimpinannya, ia menerjemahkan gagasan internasionalisasi kampus melalui kolaborasi riset lintas negara, pertukaran akademik, dan jejaring global yang nyata.

Jika kelak terpilih kembali memimpin Unhas, tantangan terbesarnya bukan lagi membuktikan kapasitasnya, melainkan menjaga api semangat itu tetap menyala.

Sebab, keberhasilan seorang rektor sejati diukur bukan dari berapa banyak penghargaan yang ia raih, melainkan dari seberapa kuat ia meninggalkan warisan kepemimpinan yang berintegritas bagi generasi penerus.

Untuk Unhas, dan untuk Indonesia, sosok seperti Prof JJ adalah pengingat bahwa ilmu pengetahuan hanya akan bermakna bila dipimpin oleh orang-orang yang tulus mengabdi.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved