Korupsi Haji
Fuad Hasan Dicegah ke Luar Negeri, Bos Travel Makassar sekaligus Mertua Menpora Dito Ariotedjo
Pemilik Maktour Group, Fuad Hasan Masyhur ikut dicegat keluar negeri soal kasus dugaan korupsi kuota haji.
TRIBUN-TIMUR.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegat tiga orang keluar negeri soal dugaan kasus kuota haji 2024.
Pada Senin (11/8) kemarin KPK secara resmi menerbitkan larangan bepergian ke luar negeri terhadap mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.
"Bahwa pada tanggal 11 Agustus 2025, KPK telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang Larangan Bepergian Ke Luar Negeri terhadap tiga orang yaitu YCQ, IAA dan FHM," ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Selain Yaqut, dua orang lainnya yang turut dicegah adalah Ishfah Abidal Aziz (IAA) yang disebut sebagai mantan staf khusus Yaqut, dan pemilik Maktour Group, Fuad Hasan Masyhur (FHM).
Fuad Hasan Masyhur lahir di Makassar 29 Juni 1959.
Alumnus Universitas STEKOM Semarang juga adalah politisi di sektor perjalanan ibadah dan politik nasional.
Ia adalah mantan Ketua DPP Partai Golkar dam Wakil Ketua Umum MPN Pemuda Pancasila.
Baca juga: Eks Menteri Yaqut dan Pengumuman Tersangka Korupsi Kuota Haji, SK Menag Jadi barang Bukti KPK
Pada 2008, izin operasional Maktour dicabut oleh Menteri Agama terkait pelanggaran aturan penyelenggaraan haji musim 2007.
Ia adalah ayah dari Niena Kirana Riskyana, istri Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo.
Hal ini ikut jadi sorotan publik terutama saat muncul laporan harta Dito yang menyebut pemberian dari sang mertua senilai puluhan miliar rupiah.
Pencegahan ini berlaku selama enam bulan ke depan untuk kepentingan proses penyidikan.
"Tindakan larangan bepergian ke luar negeri tersebut dilakukan oleh KPK karena keberadaan yang bersangkutan di Wilayah Indonesia dibutuhkan dalam rangka proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi," terang Budi.
Penyidikan kasus ini berpusat pada dugaan penyelewengan alokasi kuota haji tambahan sebanyak 20.000 jemaah yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, kuota tersebut seharusnya dibagi dengan proporsi 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
Namun, KPK menemukan adanya dugaan perbuatan melawan hukum di mana kuota tambahan tersebut justru dibagi rata 50:50, atau masing-masing 10.000 jemaah untuk haji reguler dan khusus.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.