Opini Bachtiar Adnan Kusuma
35 Tahun DDI Mangkoso, Gurutta Faried Wadjedy Dalam Balutan Ingatan yang Tak Pernah Kering
Gurutta KH Faried Wadjedy adalah sosok ulama yang kharismatik, sederhana dan tetap konsisten memilih jalan dakwah, pendidikan.
Oleh: Bachtiar Adnan Kusuma
Tokoh Literasi Nasional
TRIBUN-TIMUR.COM - Tepat Jumat siang, pada 25 Juli 2025, penulis tetiba di kampus dua putra Tonrongnge, Mangkoso, masih satu kesatuan dari Ponpes DDI Mangkoso.
Selain mengantar putra bungsu penulis, Farhan Alfarisi Kusuma, penulis kembali teringat 34 tahun lalu tatkala masih berstatus reporter majalah Panjimas, pimpinan KH Muhammad Rusjdi Hamka menugaskan penulis menulis reportase tentang Ponpes DDI Mangkoso, yang didirikan ulama kharismatik KH Abdurahman Ambo Dalle.
Setiap menyebut nama DDI Mangkoso, hati penulis selalu berbahagia, selain karena memiliki pengalaman empiris, di kampus DDI inilah penulis pertamakali bertemu dengan ibunya dari anak-anak juga nenek dari Talita Zakira Delaparsyah.
Baca juga: 27 Santri Ponpes DDI Mangkoso Lolos di Al-Azhar Kairo, Ustaz Ahmad Rasyid: Ada 30 Sementara Seleksi
Baca juga: Kado 40 Tahun Kepemimpinan Anregurutta HM Faried Wajedy, STAI DDI Mangkoso Kini Resmi Jadi IAI
Baca juga: Kisah Nyata Lailatul Qadar di Mangkoso! Cahaya dari Langit Terangi Masjid, Warga Mengira Kebakaran
Semula, penulis tercatat sebagai Koordinator KKN Unhas Angkatan 48 kecamatan Tanete Rilau, didapuk Gurutta KH Faried Wajedy menjadi pembicara di depan santri aliah yang akan meninggalkan DDI karena tercatat telah tamat, 1995.
Di ujung acara pelatihan yang dibuka langsung Gurutta KH Faried Wadjedy, penulis menemukan santri yang berasal dari Buol Toli-Toli, Sulawesi Tengah, Suriani Kaimuddin Mahmud, putri salah seorang tokoh masyarakat Dampal Selatan, Kab.Toli-Toli.
Terima kasih ya Allah, telah mempertemukan jodoh kami di tanah leluhur para ulama, Mangkoso.
Pertemuan jodoh dan takdir dengan santri Mangkoso, menyadarkan penulis kalau beberapa tahun silam, penulis bercita-cita memilih pesantren, berasa ingin menjadi ulama, namun takdir belum berjodoh dengan penulis, belum berhasil menjadi santri karena alasan tidak mampu.
Tak bersoal tidak tercatat sebagai santri, namun penulis bangga karena mempersunting santri Mangkoso yang juga penulis telah menjadi bagian dari keluarga besar Ponpes DDI Mangkoso.
Sebagai alumni DDI Mangkoso, jujur penulis bangga kepada Ani Kaimuddin Mahmud yang begitu gigih berjuang ingin memasukkan putra-.putrinya di DDI Mangkoso, namun berkali-kali gagal.
Putri pertama, kedua, ketiga lebih memilih sekolah umum. Dan, putra bungsu penulis, memutuskan diri atas kemauan sendiri memilih DDI Mangkoso sebagai Lembah Para calon Ulama menuntut ilmu.
Karena itu, penulis berterima kasih kepada anakku Farhan yang telah bersedia menyambung hubungan ideologis dengan DDI Mangkoso karena memutuskan menjadi santri DDI Mangkoso.
Artinya, efek Farhan menjadi penyambung hubungan ideologis dan emosional dengan Gurutta K.H.Faried Wadjedy dengan alumni santri Gurutta Faried yaitu Ani Kaimuddin Mahmud.
Gurutta KH Faried Wadjedy adalah sosok ulama yang kharismatik, sederhana dan tetap konsisten memilih jalan dakwah, pendidikan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.