Opini
Pecinan Makassar: Napas Tua yang Tetap Bernyawa
Inilah Pecinan Makassar, kawasan yang sejak berabad-abad lalu menjadi ruang hidup bagi masyarakat keturunan Tionghoa.
Oleh : Andi Emil Fitrah Ramadhani
Pegiat kebudayaan
TRIBUN-TIMUR.COM - Di jantung Kota Makassar, gang-gang sempit membelah kawasan tua yang seolah menolak dilupakan. Bangunan-bangunan dengan cat yang mulai pudar dan kusen kayu yang menua berdiri dengan tenang, menyimpan aroma masa lalu yang belum juga padam.
Inilah Pecinan Makassar, kawasan yang sejak berabad-abad lalu menjadi ruang hidup bagi masyarakat keturunan Tionghoa. Di sini, sejarah tidak membeku di atas prasasti, melainkan hidup dalam rutinitas.
Di tengah kawasan ini berdiri sebuah kelenteng lebih dari sekadar tempat ibadah. Ia adalah simpul sosial tempat warga berkumpul, berbagi cerita, dan memperkuat solidaritas. Tak jauh dari sana, berdiri pula rumah abu, tempat arwah leluhur dihormati dan dikenang. Dalam sunyi dan khidmat, dupa dinyalakan dan nama-nama nenek moyang dijaga di altar kayu. Tempat ini menjadi pengingat bahwa identitas komunitas tidak lahir semalam, ia tumbuh dari akar sejarah yang panjang dan penuh hormat.
Saat perayaan Imlek atau Cap Go Meh, kawasan ini menyala dalam warna dan semangat. Barongsai, lampion, dan hidangan khas menyatukan warga lintas latar belakang. Tak ada sekat. Semua larut dalam sukacita yang sama.
Menariknya, berdampingan dengan kelenteng dan rumah abu, berdiri pula sebuah masjid tua. Tanpa sorotan lebih, ia menjadi bagian alami dari lanskap sosial. Suara azan berpadu dengan denting lonceng toko dan doa dalam hening di tempat ibadah lain. Di sini, toleransi bukan jargon. Ia hidup, diwariskan, dan dirawat bersama.
Denyut ekonomi kawasan ini pun tetap berdetak. Banyak toko yang telah beroperasi puluhan tahun, diwariskan dari generasi ke generasi. Papan nama dari kayu tua yang catnya mulai mengelupas tak menghalangi pelanggan untuk datang karena yang mereka cari bukan sekadar barang, tapi hubungan, kepercayaan, dan kejujuran yang tumbuh seiring waktu.
Melangkah keluar dari kawasan ini serasa keluar dari lorong waktu. Pecinan Makassar bukan sekadar warisan, tapi ruang hidup yang terus bernapas. Di dalamnya, ada cerita tentang perjumpaan, tentang menghargai perbedaan, dan tentang bagaimana harmoni bisa tumbuh tanpa perlu dipaksakan.
Merawat warisan seperti Pecinan bukan hanya tugas sejarawan atau pemerintah. Tanggung jawab itu ada pada kita semua selama masih ada rasa ingin tahu, rasa peduli, dan keberanian untuk menceritakannya kembali.
Menjaga bangunannya juga bukan sekadar cerita. Ia butuh tindakan membersihkan, merawat kayu yang mulai rapuh, memperbaiki atap yang bocor. Karena dari sana, kita menjaga lebih dari sekadar benda kita menjaga identitas, memori kolektif, dan semangat zaman yang pernah hidup.
Setiap retakan dan papan nama pudar bukan tanda usang, tapi jejak waktu yang layak dihormati. Sebab selama masih ada yang peduli, sejarah tak akan pernah benar-benar hilang.
Makassar
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota |
![]() |
---|
Ketika Pusat Menguat, Daerah Melemah: Wajah Baru Efisiensi Fiskal |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.