Opini
Kebiasaan Membakar Sampah dan Ancaman di Balik Kepulan Asap
Asap pembakaran sampah masih menghantui langit Makassar. Ancaman kesehatan dan lingkungan mengintai, solusi kolektif harus segera dimulai.
Oleh : Muhammad Syafitra,S.Pd.,Gr
Guru SMA Islam Athirah Bukit Baruga dan Pembina Forum MPK Kota Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Setiap senja, di sudut-sudut permukiman Kota Makassar, sering kali terlihat kepulan asap mengepul, membawa aroma khas plastik dan bahan organik terbakar.
Ini adalah pemandangan yang tidak asing ketika saya melewati jalan dg tata raya 3, sebuah ritual hampir harian bagi sebagian warga membakar sampah.
Di balik kepulan asap yang dianggap sebagai solusi cepat dan praktis itu, tersembunyi sebuah ancaman serius terhadap kesehatan, lingkungan, dan masa depan kota ini.
Kebiasaan membakar sampah berakar pada beberapa faktor yang saling berkait.
Pertama, adalah persepsi tentang kepraktisan.
Bagi banyak keluarga, mengumpulkan sampah dalam karung dan membakarnya di halaman belakang atau lahan kosong jauh lebih mudah dan murah daripada menunggu jadwal petugas pengangkut sampah.
Sampah seolah lenyap dalam sekejap, berubah menjadi abu yang dianggap tidak berbahaya.
Kedua, terdapat warisan budaya dan pengetahuan turun-temurun.
Praktik ini telah dilakukan oleh generasi sebelumnya, sehingga dianggap sebagai hal yang normal dan boleh dilakukan.
Ketiga, adalah keterbatasan infrastruktur dan layanan sampah.
Meski Pemerintah Kota Makassar telah berupaya meningkatkan layanan dan cakupannya.
Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang overloaded dan jarak yang jauh dari rumah warga turut mendorong mereka mencari “solusi” mandiri.
Terakhir, rendahnya kesadaran akan dampak berbahaya dari membakar sampah, terutama sampah plastik dan elektronik, membuat aktivitas ini terus berlangsung.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.