Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Pengangguran

Beberapa diantara mereka pingsan berdesak-desakan ditengah lautan manusia pencari kerja. Apa artinya? Pengangguran begitu melimpah. 

Editor: Sudirman
Ist
KLAKSON - Abdul Karim Ketua Dewas LAPAR Sulsel, Majelis Demokrasi dan Humaniora 

Oleh: Abdul Karim

Ketua Dewas LAPAR Sulsel, Majelis Demokrasi & Humaniora

TRIBUN-TIMUR.COM - Menyeberang di beranda Medsos pemandangan miris kaum optimis mengais lapangan kerja dinegerinya.

Di Bekasi Jawa Barat itu, beberapa pekan lalu puluhan ribu pencari kerja berdesak-desakan mencari-mendaftar sebagai calon tenaga kerja dalam Job Fair Bekasi Pasti Bisa Expo.

Beberapa diantara mereka pingsan berdesak-desakan ditengah lautan manusia pencari kerja. Apa artinya? Pengangguran begitu melimpah. 

Pengangguran dinegeri ini memang meriah. Bahkan, laporan Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut pengangguran Indonesia tertinggi kedua di Asia setelah Cina pada 2025, dan diprediksi kian meningkat. Dengan kenyataan ini, Indonesia emas 2045 terancam lemas. 

Di Sulsel pun pengangguran melimpah. Koran ini mempublikasikannya bahwa jumlah pengangguran di provinsi kaya ini sekitar 238 ribu orang (Tribun Timur, 4/7/2025).

Lalu apa arti sekolah? Koran ini menyebut bahwa perguruan tinggi mencetak 1 juta pengangguran setiap mereka mewisuda mahasiswanya. Pengangguran terpelajar menjalar. Mereka menumpuk mencari kerja. 

Dengan latar begitu, kita bisa bayangkan panorama yang mirip sebuah eksodus. Ribuan orang yang datang dari berbagai titik, bukan karena api yang membabat habis ludes tempat mereka. Tapi karena sang nasib seolah-olah membuat mereka terhempas dinegeri sendiri. 

Namun mereka teguh dengan prinsip; ijazah tak boleh lapuk, ijazah tak boleh mubazzir, ijazah harus berguna.

Mereka datang dengan ongkos tak sedikit dan doa yang padat. Kemudian menumpang tinggal di sebuah kamar dan pada esoknya menyusuri jalan. “Cari kerja”, kata mereka. Tetapi sebenarnya mereka juga cari diri dan masa depan.

Menyusuri jalan-jalan padat di kota, mengetuk pintu-pintu megah sebuah jawatan, mencari informasi lowongan kerja—sesungguhnya mereka bukan kaum hijrawi.

Mereka bukan kaum urabanis yang pesimis. Harapan mereka tak pernah patah. Mereka kaum pencari nafkah yang antusias hendak membentuk dan mencapai tujuan meskipun samar, tetapi amat memukau; bekerja dengan upah layak.

Sebab masa depan mereka adalah misteri serius. Dan tentu saja masa depan anak-anak mereka kelak adalah teka-teki yang jawabannya bagai mencari sebatang jarum ditengah padang pasir.

Dimana negara? Negeri ini pernah bangga beberapa tahun lalu, saat generasi Z, X dan Y tumbuh membludak. Mereka dianggap generasi emas. Kita optimis.

Tetapi informasi jumlah pengangguran diatas meretas optimisme kita. Rupanya generasi emas itu terancam menganggur. Mereka berpeluang jadi generasi perunggu. Lalu siapa yang pantas ditegur? Entahlah. 

Investasi yang dielu-elukan pemerintah sebagai medan lapangan kerja untuk rakyat rupanya absurd. Mula-mula rakyat dirayu untuk menerima investasi dengan janji investasi menghadirkan lapangan kerja.

Namun investasi tak seluruhnya solusi. Investasi tak selamanya surga. Malah, investasi justeru memuncratkan neraka baru bagi stabilitas lingkungan. Kualitas lingkungan ambruk. Lalu siapa yang pantas ditegur? Entahlah. 

Negara tak boleh diam. Negara harus bertindak. Ribuan pencari kerja—yang juga bertanda ribuan pengangguran—adalah ancaman ketidakstabilan negara. Negara harus mampu menjawab ketidakstabilan itu. 

Tugas negara memang tak ringan. Negara harus mengantarkan mereka ke gerbang kesejahteraan sentosa. Negara tak boleh berbangga melulu dengan pertumbuhan generasi Z, X, Y dan seterusnya yang acap kali disebut emas itu. Sebab bila menganggur, perunggupun tak tertuai. Maksud hati memanen emas—karena menganggur—apa daya perunggupun tak sampai. 

“Tetapi setiap lima tahun para pengangguran itu berguna dibilik suara”, kata rekan saya. Sekali lima tahun suara mereka diincar.

Sayangnya suara-suara mereka berlalu begitu saja hingga pada saatnya mereka merintih dan ditindih ketika berdesak-desakan karena nasib yang terdesak. Suara mereka serak, tak hening seperti saat mereka dibilik suara.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Rusuh

 

Rusuh

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved