Opini
Menata Ulang Demokrasi Melalui Revisi Regulasi Pemilu
Situasi ini menciptakan kebingungan baik bagi penyelenggara maupun pemilih, serta membuka ruang bagi ketidakpastian hukum.
Masalah kian rumit kala sistem proporsional terbuka dipadukan dengan sistem multipartai yang bercabang-cabang.
Kita menyaksikan bagaimana rakyat dipaksa memilih dari daftar panjang yang kerap kali membingungkan dan tidak transparan.
Sistem ini telah menciptakan perlombaan individual antar calon dalam satu partai, mengikis semangat kolektif dan membuka celah bagi politik transaksional.
Dalam kerumitan ini, suara rakyat acap kali tenggelam dalam strategi politik dan kepentingan elite.
Maka, sudah saatnya membuka ruang diskursus untuk menelaah kembali pilihan sistem, menyempurnakannya, agar pemilu kita tidak hanya demokratis dalam prosedur, tetapi juga bermakna dalam substansi.
Penegakan hukum pemilu pun menghadapi tantangan yang tak kalah pelik. Kelemahan regulasi, kurangnya independensi lembaga penegak hukum, dan terbatasnya sumber daya manusia telah melahirkan ketimpangan penindakan.
Ibarat pedang yang tumpul di satu sisi dan tajam di sisi lain, hukum tidak lagi menjadi panglima yang adil. Reformasi kelembagaan Peradilan Pemilu menjadi keniscayaan.
Bukan sekadar penambahan kewenangan, tetapi juga peneguhan integritas, peningkatan kompetensi, dan penguatan sistem akuntabilitas.
Tak hanya itu, pilihan desain Pemilu pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan antara Pemilu nasional dan Pemilu daerah telah memicu beragam reaksi serta perdebatan hangat di tengah masyarakat.
Keputusan ini dinilai memiliki dampak besar terhadap dinamika politik dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sehingga menimbulkan kegaduhan di berbagai kalangan, baik dari partai politik, akademisi, pegiat demokrasi, hingga masyarakat umum.
Mereka mempertanyakan implikasi praktis dan filosofis dari pemisahan tersebut, dan menanti bagaimana rancangan regulasi yang akan dibuat oleh DPR dan penyelenggara Pemilu.
Tentu harapannya, apapun bentuk kebijakan yang diambil nantinya, harus tetap berpijak pada koridor konstitusional agar prinsip-prinsip demokrasi tetap terjaga dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
Yang lebih mencemaskan adalah kecenderungan regulasi pemilu berubah di tengah tahapan berlangsung, melalui keputusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.
Fenomena ini bagaikan mengubah aturan main saat permainan telah dimulai. Ketidakpastian ini tidak hanya merugikan peserta pemilu, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemilu secara keseluruhan.
Oleh karena itu, revisi undang-undang perlu menetapkan batas waktu yang tegas bagi judicial review agar tidak menginterupsi proses demokrasi yang tengah berjalan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.