Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Kemiskinan

Bukan hanya pemerintah sebenarnya, kitapun barangkali tak pernah tahu bagaimana rasa kemiskinan itu menyergap.

Editor: Sudirman
Ist
KLAKSON - Abdul Karim Ketua Dewas LAPAR Sulsel, Majelis Demokrasi dan Humaniora 

Oleh; Abdul Karim

Ketua Dewas LAPAR Sulsel, Majelis Demokrasi & Humaniora

TRIBUN-TIMUR.COM - Hijaunya negeri ini, terhampar luas sumber daya alam, dan banyaknya jumlah aparat pemerintah di kota hingga pedesaan membuat kita kadangkala sulit mengerti mengapa kemiskinan tetap intim ditengah masyarakat kita.

Di negeri kaya ini, penduduknya malah miskin merana. Heran. 

Pemerintah memang setiap tahun terjun ke bawah mencatat jumlah penduduk miskin. Tetapi mereka tak mengerti bagaimana proses kemiskinan mendera kaum bawah. 

Mereka tak tahu bagaimana rasanya kemiskinan itu menghujam diulu hati penduduk negeri.

Mereka tak pernah merasakan bagaiamana sensasi kemiskinan bagai topan menggulung perikehidupan penduduk dilapis bawah. 

Proses kemiskinan mereka ketahui dari angka-angka yang dikumpulkan, dihitung, diakumulasi lalu ditentukan, lantas diumumkan. Kemiskinan seolah berkait dengan kalkulator. 

Bukan hanya pemerintah sebenarnya, kitapun barangkali tak pernah tahu bagaimana rasa kemiskinan itu menyergap.

Bilapun proses kemiskinan kita tahu, umumnya hanya lewat jasa Google dengan beragam persepektif yang disuguhkannya.

Dan kita tahu, Google tak punya rasa. Soal rasa, jangan tanya Google. Ia hanya punya kuasa menyodorkan segala aspek kemiskinan pada layar gadget kita.

Negara juga tak pernah diam sebenarnya. Sejenak kita kebelakang. Beragam jenis program sudah dibangun untuk mengatasi kemiskinan.

Dizaman Orde baru, kita ingat istilah “pengentasan kemiskinan”. Dizaman Reformasi, kita dengar terma “penanggulangan kemiskinan”, “Bansos”, dan sebagainya. 

Program-program itu dioperasikan, tetapi dijalankan dengan “jarak keterlibatan”. Rakyat miskin dikumpulkan, uang lalu dikucurkan, sembako dibagi disertai kelancungan.

Setalah membagi, negara pergi. Lalu, kemiskinan dianggap tuntas. Kemiskinan tak pernah lagi dijenguk.

Disinilah jarak keterlibatan itu muncul. Kita tak pernah benar-benar terlibat merasakan penderitaan rakyat miskin.

Tetapi tampaknya negara memang sejak lama keliru memandang kemiskinan. Kemiskinan dianggapnya sebagai misteri, bukan problem.

Dalam kaitan itu, saya ingat filsuf Prancis, Gabriel Marcel (1889-1973) yang berbicara tentang dua hal yang dihadapi manusia, yakni; “problem” dan “misteri”. 

Problem bagi Marcel adalah sesuatu dihadapan kita dan untuk diterobos.

Misteri adalah sesuatu yang meliputi kita. Dalam menghadapi problem, kita menggunakan konsep. 

Konsep itu berdaya untuk menguasai sesuatu yang disebut kenyataan untuk diterobos. Konsep berguna untuk akal instrumental.

Akal instrumental adalah bagaimana manusia memecahkan persoalannya, memecahkan problemnya. 

Sedangkan misteri, menghadapinya memerlukan metafora. Di dalam misteri, kita lebih mampu menggunakan metafora.

Metafora bukan memecahkan misteri seluruhnya. Ciri metafor adalah, dia mengatakan sesuatu yang lain, dari yang dimaksud.

Dalam kasus kemiskinan misalnya, rakyat menjadi miskin dianggap karena malas, dianggap tak punya skill, dianggap takdir, dan sebagainya. 

Semua ini adalah metafora. Sebab sesungguhnya semua tahu bila kemiskinan terbibit dari kegagalan negara mensejahterahkan rakyatnya. 

Namun pada akhirnya, negeri ini seakan memerlukan rakyat miskin, agar orang kaya terpilih jadi pemimpin.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved