Opini
Sengketa Empat Pulau: Aceh vs Sumatera Utara dalam Ujian Konstitusi
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 memang merujuk pada hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi sejak 2008.
Oleh:
Sugihyarman Silondae, S.H., M.H.
Praktisi Hukum, Advokat dan Konsultan Hukum di Kendari, Sulawesi Tenggara
TRIBUN-TIMUR.COM - Ketika negara menetapkan empat pulau kecil, Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek ke dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Aceh tak tinggal diam.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 memang merujuk pada hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi sejak 2008.
Namun masyarakat Aceh menolak keras.
Bagi mereka, ini bukan sekadar soal koordinat atau spasial administratif, tetapi menyangkut sejarah, hak wilayah, dan keadilan konstitusional.
Sebagai praktisi hukum, saya memandang bahwa penanganan sengketa ini tidak dapat dibatasi hanya pada pendekatan legal-formal.
Penetapan batas wilayah administratif semestinya mencerminkan keselarasan antara legalitas, legitimasi, dan sensitivitas sejarah.
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan UU No. 23 Tahun 2014 memang memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk mengatur dan menetapkan batas wilayah.
Namun kewenangan itu bukanlah kekuasaan mutlak yang lepas dari prinsip keadilan.
Ia harus dijalankan secara proporsional, partisipatif, dan kontekstual.
Pemerintah Aceh tidak mengajukan klaim tanpa dasar.
Mereka membawa sejumlah dokumen otentik: SK Kepala Inspeksi Agraria tahun 1965, surat kuasa dan kepemilikan lahan dari 1980, hingga Kesepakatan Bersama antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara tahun 1992 yang disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri.
Bahkan di keempat pulau itu, terdapat fasilitas umum seperti musala, dermaga, dan prasasti pemerintahan yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.
Ini menunjukkan bukan hanya penguasaan de facto, tetapi juga pengelolaan de jure yang sah secara administratif.
Di sisi lain, Kemendagri mendasarkan keputusannya pada data hasil verifikasi spasial tahun 2008 yang menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut tidak tercatat dalam wilayah Aceh.
Namun, Pemerintah Aceh telah menyampaikan koreksi resmi terhadap data tersebut, karena ditemukan kekeliruan koordinat yang mengarah pada gugusan Pulau Banyak.
Klarifikasi ini telah diajukan sejak beberapa tahun lalu, namun hingga keluarnya keputusan tahun 2025, tampaknya belum diakomodasi secara utuh dan terbuka.
Maka, muncul pertanyaan mendasar: apakah proses pengambilan keputusan administratif benar-benar memperhatikan semua data, bukti, dan keberatan yang disampaikan pihak Aceh secara objektif dan transparan?
Sengketa ini menjadi sangat sensitif karena menyangkut Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang memperoleh status otonomi khusus pasca MoU Helsinki 2005 dan lahirnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Salah satu prinsip mendasar dalam undang-undang tersebut adalah pengakuan atas batas-batas wilayah Aceh sebagaimana berlaku sebelum tahun 1956, termasuk wilayah kepulauan.
Jika keputusan administratif dari pusat mengabaikan ketentuan dan semangat ini, maka tindakan tersebut dapat dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap rekonsiliasi politik dan keadilan historis yang telah disepakati secara nasional.
Pemerintah Aceh sendiri telah menyuarakan bahwa sengketa ini bukan hanya persoalan teritorial, melainkan menyangkut kelangsungan status kekhususan, martabat otonomi, dan legitimasi sejarah.
Bila persoalan ini ditangani secara sepihak dan terburu-buru, maka akan timbul risiko tergerusnya kepercayaan publik terhadap komitmen pusat dalam menjaga integritas relasi konstitusional dengan daerah-daerah khusus.
Secara hukum, ada dua jalur korektif yang dapat diambil.
Pertama, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika terdapat indikasi cacat prosedural, seperti pengabaian dokumen administratif yang sah atau tidak dilakukannya konsultasi publik.
Kedua, jalur uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika substansi kebijakan dianggap mereduksi kewenangan Aceh sebagai daerah otonomi khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 269 dan 270 UU Pemerintahan Aceh.
Namun penyelesaian yudisial saja tidak memadai.
Negara perlu hadir secara aktif sebagai penengah yang adil dan objektif.
Sebagai solusi jangka pendek, keberlakuan Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 sebaiknya dibekukan sementara waktu, sambil dilakukan audit ulang atas seluruh dokumen hukum, bukti fisik, dan narasi historis dari kedua belah pihak.
Lebih dari itu, pembentukan panel mediasi independen yang melibatkan pakar tata batas, akademisi, dan tokoh masyarakat dari Aceh dan Sumut perlu dipertimbangkan demi mencegah eskalasi lebih lanjut.
Perlu dicatat bahwa Indonesia saat ini masih menyisakan lebih dari 40 sengketa batas wilayah antar-daerah (BPN, 2023).
Jika tidak diselesaikan secara bijak, konflik serupa akan terus menggerus integritas administratif dan sosial.
Dalam kerangka negara hukum, prinsipnya sederhana namun mendalam: hukum tidak boleh menjadi sumber konflik, melainkan jembatan menuju kesepahaman.
Empat pulau ini mungkin kecil dalam peta, tetapi besar dalam makna konstitusional dan sosial.
Ia menyangkut identitas daerah, kredibilitas pusat, dan masa depan relasi kewilayahan di Indonesia.
Jika negara ingin tetap dipercaya, maka yang dibutuhkan bukan dominasi prosedur, melainkan empati konstitusional.
Kita tidak bisa membangun integrasi nasional dengan menyisakan luka-luka lama yang belum sembuh.
Polemik ini sesungguhnya bisa menjadi titik balik-sebuah momentum untuk menata ulang relasi pusat dan daerah secara lebih setara dan visioner.
Sebab pada akhirnya, hukum diciptakan bukan untuk sekadar mengatur, tetapi untuk mengayomi, melindungi, dan merawat keutuhan bangsa.(*)
| Hapus Roblox dari Gawai Anak: Seruan Kewaspadaan di Tengah Ancaman Dunia Virtual |
|
|---|
| Mendobrak Tembok Isolasi: Daeng Manye, Perjuangan Tanpa Henti untuk Setiap Jengkal Tanah Takalar |
|
|---|
| Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap |
|
|---|
| Membedah Proses Kreatif Menulis KH Masrur Makmur |
|
|---|
| Transformasi Unhas, Melawan Kebencian dan Irasional |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/Sugihyarman-s.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.