Opini
Menggugat Sistem Penerimaan Murid Baru
Tahun 2024 dikenal dengan nama Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), namun pada 2025 berubah menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).
Misalnya, Apakah jalanan, trotoar nyaman untuk lalui pejalan kaki sehingga anak-anak nyaman berjalan ke sekolah?
Apakah fasilitas kendaraan umum tersedia dan rama untuk mereka? Apakah trotoar tidak lagi berlubang yang lubangnya nyaman untuk keselamatan anak di jalanan dan apakah jalan kita ramah terhadap pesepeda sehingga anak-anak bisa bersepeda dengan gembira pergi dan pulang dari sekolah mereka?
Kalau kita masih ragu menjawab pertanyaan ini makan jalur domisili bukan solusi justru kebijakan berbasis domisili berpotensi diskriminatif.
Yang kedua adalah, mestinya siswa sejak siswa duduk di kelas 5 SD dan 2 SMP bahkan proses pemetaan dan penyebaran siswa sudah bisa dilakukan jauh sebelum tiba masa , kenapa demikian negara punya data, punya perangkat dari RT, RW, Lurah, Camat, Dan Dinas Kependudukan.
Untuk setiap warganya susah bagaimana mengkoordinasikan seluruh perangkat negara dan teknologi informasi yang ada hari ini, seharusnya siswa dan orang tua tidak perlu lagi bingung menjelang kelulusan mereka sudah tahu lebih awal ke mana akan melanjutkan pendidikan.
Kritik terhadap Tes Kognitif: Saatnya Meninggalkan Paradigma Lama
Yang kedua yang mesti kita intuisi terhadap sistem penerimaan siswa baru adalah tes berdasarkan kognitif.
Mengklasifikasi anak-anak semata berdasarkan angka hanya akan mereduksi kompleksitas manusia menjadi bilangan.
Jika seorang anak tidak mencapai skor tertentu, bukan berarti dia gagal bisa jadi justru sistem pendidikannya yang gagal menjalankan amanat konstitusi.
Negara-negara seperti Jerman, Finlandia, dan Norwegia telah lama meninggalkan sistem seleksi berbasis tes akademik untuk masuk sekolah dasar atau menengah.
Sebagai gantinya, mereka menggunakan pendekatan holistik: asesmen gaya belajar, preferensi minat, dan kondisi psikologis anak.
Hasil tes ini bukan untuk menyaring, tetapi sebagai panduan bagi sekolah tujuan dan guru dalam menyesuaikan metode pembelajaran yang lebih personal dan inklusif.
Sayangnya, sistem kita masih terpaku pada angka dan ranking. Seleksi masuk didasarkan pada nilai tes kognitif, yang seolah-olah menjadi satu-satunya parameter kecerdasan anak.
Ini bertentangan dengan teori Multiple Intelligences yang diperkenalkan oleh Howard Gardner (1983), yang menyatakan bahwa manusia memiliki kecerdasan yang beragam: linguistik, logis-matematis, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan visual-spasial.
Teori ini telah diadopsi secara luas dalam sistem pendidikan progresif di banyak negara. Di Australia, misalnya, asesmen awal siswa memperhatikan aspek emosional dan sosial, serta keterampilan praktis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.