Opini
Scammer Digital Passobis
Fenomena ini tidak hanya memperlihatkan potensi positif dari teknologi, tetapi juga mengungkap sisi gelap yang menyertainya.
Oleh: Rahmat Muhammad
Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Seiring pesatnya perkembangan dunia digital dan media sosial di Indonesia, berbagai fenomena sosial baru kembali mulai bermunculan.
Fenomena ini tidak hanya memperlihatkan potensi positif dari teknologi, tetapi juga mengungkap sisi gelap yang menyertainya.
Salah satu contoh khas dari dinamika tersebut di Sulawesi Selatan kembali marak praktik yang populer di daerah Bugis istilah “passobis”, sebutan lokal yang kini digunakan untuk menyebut pelaku penipuan daring (online) yang menyasar masyarakat melalui media sosial, marketplace, dan berbagai platform komunikasi digital.
Secara etimologis, istilah "passobis" dalam bahasa Bugis Makassar diidentikkan dengan orang yang sok tahu atau merasa paling hebat.
Namun, dalam konteks bahasa gaul digital makna ini mengalami pergeseran. Kini, "passobis" merujuk pada individu atau kelompok yang secara sengaja membuat akun palsu untuk menipu orang lain.
Bentuk penipuan yang dilakukan pun beragam, mulai dari penjualan barang murah, penawaran lowongan kerja palsu, jasa rental fiktif, hingga investasi bodong, semuanya dikemas dalam narasi meyakinkan yang menjebak korban agar transfer uang atau mengirimkan data pribadi.
Pelaku scammer digital dalam prakteknya memiliki kemampuan mencuri data pribadi (phising) untuk mendapatkan keuntungan dari korban yang disinyalir melibatkan orang terdekat si korban atau orang dalam suatu institusi yang sifatnya rahasia.
Kemunculan "passobis" menjadi refleksi lokal dari kejahatan cyber yang semakin menjamur di Indonesia.
Jika penipuan digital selama ini lebih banyak diasosiasikan dengan sindikat besar atau peretas internasional, maka "passobis" menunjukkan bahwa kejahatan digital juga dapat dilakukan oleh individu atau kelompok kecil.
Mereka memang memiliki keterbatasan dalam hal pengetahuan digital canggih, tetapi cukup lihai dalam memanipulasi kepercayaan orang lain melalui pola komunikasi yang familiar di lingkup lokal.
Modus yang digunakan oleh para "passobis" memang bervariasi, namun cenderung mengikuti pola yang seragam.
Mereka membuat akun palsu dengan identitas yang menarik dan meyakinkan, menawarkan barang atau jasa dengan harga yang menggiurkan, lalu mendesak korban untuk segera mentransfer sejumlah uang.
Setelah uang dikirim, akun akan menghilang atau tidak lagi aktif. Beberapa pelaku bahkan menggunakan pendekatan yang lebih halus yaitu dengan membangun hubungan personal terlebih dahulu melalui rayuan atau pendekatan emosional sebelum perlahan-lahan meminta uang dengan berbagai alasan.
Perspektif Sosiologis melihat fenomena "passobis" ini sebagai respons terhadap transformasi struktural masyarakat yang belum sepenuhnya siap menghadapi realitas digital.
Internet dan media sosial memang telah membuka ruang-ruang baru untuk mobilitas ekonomi.
Namun, di sisi lain, ruang ini juga mempertegas ketimpangan antara mereka yang memiliki literasi digital tinggi dan akses ekonomi memadai dan mereka yang secara struktural terpinggirkan, tetapi berupaya “bermain” dalam ruang digital dengan caranya sendiri.
Lebih jauh lagi, melalui perspektif teori deviasi (deviance), khususnya dalam kerangka teori anomie dari Robert K. Merton, melihat tindakan "passobis" dapat diposisikan sebagai bentuk penyimpangan inovatif.
Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kesuksesan ekonomi, tetapi tidak menyediakan sarana legal secara merata untuk mencapainya, sebagian individu memilih jalan devian sebagai alternatif.
Dalam hal ini, "passobis" adalah pelaku yang tidak mampu mengakses jalur formal seperti pekerjaan layak, modal usaha, atau pendidikan digital.
Sebagai gantinya, mereka merancang strategi tersendiri, memanfaatkan celah teknologi dan kepercayaan sosial yang masih rentan.
Dengan demikian, "passobis" mencerminkan wajah dari budaya digital lokal yang tengah berkembang.
Fenomena ini tumbuh seiring meningkatnya partisipasi masyarakat dalam ruang digital, tetapi tidak dibarengi oleh penguatan literasi digital maupun kesadaran etika digital.
Dalam konteks ini, "passobis" bukan sekadar simbol kecurangan, tetapi juga menjadi peringatan bahwa perkembangan teknologi yang tidak dibarengi oleh penguatan nilai-nilai sosial justru membuka peluang penyimpangan yang semakin meluas.
Merespons fenomena ini tidak cukup dengan pendekatan hukum atau pengawasan teknis semata. Sosiologi memberi kita pemahaman bahwa akar dari perilaku seperti "passobis" terletak pada ketimpangan struktur sosial serta lemahnya sistem nilai dalam ruang digital.
Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan pun harus menyentuh akar permasalahan dengan memperkuat pendidikan digital berbasis nilai, memperluas akses terhadap peluang ekonomi secara adil, serta membangun ruang digital yang lebih inklusif, beretika, dan berpihak pada keadilan sosial.
Jika ruang digital kita semakin terbuka, tapi tak diiringi dengan penguatan nilai maka menjadi pertanyaan, apakah kita sedang menciptakan ladang baru bagi para "passobis" selanjutnya?
Disadari bahwa sekarang era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran (post truth) dengan cara memainkan emosi dan perasaan calon korban.
Kalau dulu korbannya sering pada masyarakat awam berpendidikan rendah kini yang jadi korban justru menyasar berbagai profesi tidak terkecuali kalangan terdidik di kampus bahkan sampai Guru Besar dengan berbagai modus lama yang kembali diaktifkan.
Bagaimanapun praktek "passobis" ini sebagai kriminal yang perlu jadi perhatian serius bagi aparat kepolisian, besar harapan dibawah kepemimpinan Irjen Pol. Drs. Rusdi Hartono,M.Si sebagai Kapolda mampu ungkap jaringan scammer digital (passobis) khususnya di wilayah hukum Sulawesi Selatan yang meresahkan ini segera ditangkap sindikatnya dan tidak lagi menelan korban, semoga.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.