Opini
Premanisme, Anak Haram Pembangunan
Tindakan Premanisme umumnya dilakukan dengan cara-cara kekerasan, memeras, mengancam sehingga kehadirannya dianggap mengganggu ketertiban masyarakat.
Oleh: Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar / Sekretaris Koalisi Kependudukan Indonesia Sulsel
TRIBUN-TIMUR.COM - Premanisme berasal dari kata “Preman”. Dalam keseharian sering dialamatkan pada orang-orang lepas, tidak terikat, statusnya partikuler atau swasta.
Premanisme bukan angkatan bersenjata dan bukan pula ASN, meskipun demikian perilaku dan tindakannya sering menyerupai atau seoalah-olah tentara atau polisi yang mengatur atau mengendalikan masyarakat, bahkan mungkin juga mengendalikan aparat keamanan untuk kepentingan peribadi dan kelompok.
Tindakan Premanisme umumnya dilakukan dengan cara-cara kekerasan, memeras, mengancam sehingga kehadirannya dianggap mengganggu ketertiban masyarakat.
Meskipun demikian, dan ini berbanding terbalik, bahwa tidak sedikit juga aparat, baik itu polisi, tentara dan ASN yang perilakunya menyerupai preman, artinya dalam mengambil tindakan seringkali dilakukan dengan cara-cara kekerasan, memeras dan mengancam.
Dengan begitu kata preman lebih tepat kalau dikatan perilaku, bukan orang, kelompok, organisasi atau ormas. Tentu saja tanpa menafikkan , bahwa preman sering berafiliasi atau mengatas namakan ormas.
Kata Preman tentu saja bukan profesi dan nyaris tidak ada orang yang mau ditulis dalam KTP nya pekerjaan sebagai “Preman”.
Meski demikian kalau dilihat tujuan akhirnya adalah untuk menghidupi diri dan keluarga serta kelompoknya, maka bisa dikatakan preman itu adalah pekerjaan, hanya cara mendapatkan rezeki dilakukan dengan cara-cara yang terlarang.
Kalau seorang preman ditangkap dan ditanya mengapa anda menjadi preman ? maka kemungkinan besar jawabannya adalah karena mau hidup, mau makan dan menapkahi keluarganya.
Dengan begitu, andai saja ada jalan untuk mendapatkan uang dengan cara-cara halal maka tidak mungkin dia menjadi preman, artinya preman itu muncul karena tidak ada pilihan hidup yang lain.
Itu artinya preman mucul bukan salahnya preman sendiri, akan tetapi juga salahnya pemerintah yang tidak bisa menyediakan lapangan kerja bagi sebagian warganya.
Kalau mau dikaji lebih mendalam, maka preman sesungguhnya sudah lama keberadaannya, bahkan dimasa orde baru sudah banyak berkeliaran di ibukota, baik itu di pusat maupun di daerah.
Harus diakui, terutama oleh pemerintah sebagai penentu kebijakan bahwa kehadiran preman adalah buah dari kebijakan pembangunan yang salah arah yang pada akhirnya melahirnya banyak pengangguran.
Tentu kita masih ingat ketika Pemerintah Orde baru selama kurung waktu tiga dekade (1969-1998), banyak mengandalkan pertumbuhan ekonomi dengan model "trickle-down effect".
Teori ini lebih awal membangun dulu sebagian masyarakat yang kalau sudah berhasil sebahagian ini akan meneteskan hartanya ke masyarakat kebanyakan.
Teori ini awalnya berhasil terutama dari aspek pertumbuhan ekonomi yang tumbuh rata-rata 7-8 persen pertahun.
Hanya saja karena keasikan dengan pertumbuhan ekonomi akhirnya lupa pada pemerataan, terjadilah gep dimasyarakat dimana sebagian kecil menikmati pertumbuhan dan sebagian lagi justru menganggur karena mereka kurang bisa beradaptasi dengan model pembangunan berbasis padat modal yang menggunakan teknologi tinggi.
Pengangguran dimasa orde baru sesungguhnya merupakan embrio lahirnya “Premanisme”. Dimana mereka juga ingin hidup layak tapi tak punya keterampilan kecuali mengandalkan tanaga dan otot.
Celakanya mereka ini pada akhirnya dimanfaatkan oleh sebagian pengusaha untuk mengamankan bisnisnya.
Tapi teruatama mereka yang tidak sempat direkrut oleh pengusaha, mereka inilah yang liar dan mencari peluang-peluang di ruang-ruang yang memungkinkan mereka hidup seperti jadi tukang parkir, dan tidak sedikit diantara mereka yang jadi, memeras, mengancam dan bentuk perbuatan kriminal lainnya.
Ketika tumbang orde baru tahun 1998 dan memasuki era Reformasi dengan berbagai kebijakan ekonomi dan politik, “premanisme” semakin menampakkan wajahnya.
Sistem pemilihan umum langsung yang dimulai tahun 2004 untuk memilih presiden dan wakil presiden dan tahun 2005 untuk pilkada, semakin membuka peluang kolaborasi antara politisi dan preman baik itu pusat maupun di daerah.
Para Preman yang dulu liar tak terkebadali kemudian sekan terlembagakan ketika mereka masuk menjadi tim sukses para kandidat.
Dari sinilah awal mulai munculnya ormas yang sebagian besar anggotanya ada para preman itu. Mereka dijadikan tim sukses sebagai tim pencari suara atau vote getter.
Uraian singkat di atas memberi petunjuk bahwa premanisme itu sesungguhnya lahir dari sebuah kebijakan ekonomi yang tanpa diperhitungkan akibatnya.
Teori menetes akibat "trickle-down effect" justru melahirkan pengangguran yang pada gilirannya melahirkan para preman yang kerjanya sebagian mengamankan asset dan bisnis para pengusaha, termasuk para konglomerat dan oligarki.
Sebagian lagi bebas tanpa ikatan, selanjutnya premanisme berkembang menjadi sebuah gerakan yang menyimpang juga karena diperalat oleh politisi yang ingin kekuasaan.
Jadi dengan demikian Premanisme lahir sebagai anak yang tidak diharapkan alias anak haram pembangunan.
Solusi atas masalah premanisme yang belakangan ini dilakukan oleh pemerintahn dalam hal ini pihak kepolisian tentu saja soslusi jangka pendek, solusi jangka panjangnya tentu saja perbaikan kebijakan ekonomi, membuka lapangan kerja seluas mungkin dan memperbaiki sstem pemilihan umum dan pilkada.
Hanya dengan kebijakan ekonomi politik yang adil dan inklusif bisa mengurangi perilaku premanisme. Semoga.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.