Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Andaikan Toko Buku Hadir di Setiap Desa

Setidaknya selalu ada harapan muncul satu perpustakaan pribadi, hingga yang lebih besar seperti perpustakaan publik.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Irsan Pustakawan Dispustaka Enrekang, Pendiri Kulibuku Maspul, dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar 

Oleh: Irsan

Pustakawan Dispustaka Enrekang, Pendiri Kulibuku Maspul, dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”

Kutipan tersebut datang dari Tan Malaka, seorang pahlawan nasional yang dalam masa pelariannya ia tetap memiliki nafsu membeli buku baru, sehabis bukunya ‘dirapikan tanpa tersisa’ di rumah yang ditinggali. 

Yang dikatakan Tan Malaka dalam buku Madilog itu,menyiratkan bahwa toko buku selalu menghidupkan harapan terbangunnya sebuah pustaka baru setelah pustaka yang satu lenyap.

Setidaknya selalu ada harapan muncul satu perpustakaan pribadi, hingga yang lebih besar seperti perpustakaan publik.

Berkaitan dengan hari buku yang dirayakan pada tanggal 17 Mei 2025, memantik penulis untuk mencermati toko buku yang ada di Sulawesi Selatan.

Muasal tanggal 17 dipilih sebagai  hari buku karena hari tersebut bertepatan dengan berdirinya Perpustakaan Nasional pada tahun 1980. 

Sebagai salah satu ekosistem dunia literasi, keberadaan toko buku begitu penting. Ibarat jembatan, toko buku berperan menghubungkan pembaca dengan pelaku perbukuan seperti penulis, penerbit dan tentu saja perpustakaan.

Meskipun beberapa tahun belakangan, kabar mengenai toko buku besar satu persatu tutup dengan beragam alasan. Satu di antaranya, disinyalir karena peralihan ke buku digital dan pesatnya pasar buku online.

Sangat disayangkan, penutupan toko buku dapat berdampak negatif pada dunia literasi.

Dari satu toko buku yang tutup, akan mengurangi akses langsung ke buku, yang selama ini menyuguhkan pengalaman tersendiri bagi pembelinya.

Bagi sebagian orang toko buku bukan sekedar distributor dari penerbit, tapi lebih dari itu. 

Meski demikian, di tempat lain justru berdiri. Dan sekalipun terjadi pasang surut toko buku ritel, ada yang tutup dan ada yang buka, namun toko buku mini atau independenjustru mulai muncul dengan konsep yang berbeda.

Seperti di kota-kota besar Indonesia: Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar, sejumlah toko buku mini/indie hadir dengan nuansa kafe atau dengan konsep bookstore café.

Ada pula toko buku alternatif yang menawarkan interaksi sosial bagi komunitas pembaca dan dengan beragam program kreatif. 

Di Makassar, baru-baru ini bertambah satu toko buku “major’ dari pemain utama dalam industri ritel buku di Indonesia.

Sebagai pusat pendidikan di Sulsel, juga banyak muncul toko buku kecil yang bernuansa kafe dan ruang berkomunitas.

Sasaran utama toko buku seperti ini ialah para mahasiswa yang menyenangi buku-buku yang telah dikurasi dari beragam pemikiran.

Toko buku jenis ini juga menyediakan ruang bagi bagi buku-buku dari penerbit independen, sehingga menawarkan beragam spektrum.

Jadi potensi hadirnya toko buku indie sejalan dengan keberadaan kelompok pembaca kritis seperti pelajar dan mahasiswa. 

Hanya saja sebaran toko buku indie juga menunjukkan ketimpangan, sebab hanya muncul di kota-kota besar.

Di Sulsel, dari Makassar, belakangan muncul di Kota Pare-Pare, Kota Palopo, dan meskipun juga bisa dikatakan belum begitu marak.

Jika di kota itu saja yang telah dikelilingi beberapa kampus besar, lalu bagaimana dengan kabupaten.

Salah satu pemicu munculnya toko buku indie ini memang tidak dipisahkan dari keberadaan mahasiswa yang menciptakan iklim diskusi buku.

Realitasnya tersebut juga mencerminkan bahwa buku masih laku bagi mereka yang sedang berstatus mahasiswa. 

Bagi penulis, agar ekosistem membaca tumbuh seiring dengan toko buku, maka perlu berdiri toko buku di mana saja dan dengan sasaran kategori yang bervariatif.

Penulis membayangkan jika setiap kabupaten memiliki satu toko buku yang memadai, maka juga akan berpotensi mendenyutkan perpustakaan pribadi.

Bagi sebagian orang, memiliki buku lebih memuaskan di samping meminjam buku, sebab ia ingin berinvestasi membangun pustakanya sendiri. 

Semisal, ajakan membaca dari guru untuk membangun minat baca anak-anak sejak dari rumah tanpa dibarengi dengan toko buku, rasanya kurang optimal.

Maka, perlu dirancang, misalnya menghadirkan lapak toko buku di pasar-pasar tradisional yang mengkhususkan buku-buku anak, di samping aksesnya mendekatkan masyarakat, juga terdapat pilihan buku yang murah. 

Usaha di perbukuan memang jalan sunyi dan memiliki resiko gagal, karena itu, penulis memberi apresiasi bagi mereka yang tetap bertahan ataubaru mendirikan toko buku.

Di balik mengusahakan profit, mereka telahikut membentangkan akses literasi yang selama ini pemerintah juga usahakan. 

Akhirnya di momentum Hari Buku ini, penulis juga berharap kepada pemerintah lewat kebijakan setiap kepala daerah, ikut mendorong usaha dalam bidang perbukuan bertumbuh.

Penulis mengusulkan, program yang mendorong sektor usaha dari pemerintah pusat seperti Koperasi Desa Merah Putih,kiranya dapat mempertimbangkan unit usaha yang meningkatkan literasi masyarakat lewat usaha toko buku. Kalau dinilai kurang realistis, bisa pula menimbang adanya BUMD Toko Buku. 

Penulis sebenarnya mengandaikan jika ada satu usaha yang perlu “jaminan gagal usaha” karena faktor minat baca yang rendah dari masyarakat, maka itu adalah toko buku kecil.

Memang, komitmen itu seyogyanya berangkat dari kesamaan visi bahwa buku adalah salah satu investasi untuk membangun masyarakat yang berpengetahuan.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved