Opini
Menapak Masa Depan dari Akar Budaya
Di tengah era digital yang bergerak begitu cepat, refleksi terhadap masa lalu menjadi penting agar langkah ke depan tetap berpijak pada fondasi.
Proyek-proyek berbasis komunitas seperti ini tidak hanya mengasah keterampilan teknologi, tetapi juga menguatkan kebanggaan terhadap budaya sendiri.
Lebih dari itu, pendekatan ini dapat diperluas ke dalam pembentukan komunitas budaya digital berbasis sekolah dan desa.
Siswa bersama guru dan tokoh adat dapat menjadi agen pelestari yang mengumpulkan data budaya, mendokumentasikan tradisi, dan menyebarkannya ke dunia digital.
Desa-desa dan sekolah menjadi laboratorium budaya yang hidup dan terus berkembang dalam ekosistem digital yang sehat.
Kebangkitan nasional yang kita peringati bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi menyiapkan masa depan yang berpijak pada kekuatan budaya sendiri.
Bangsa yang mampu mengenali dan menghidupkan kembali budayanya memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap gempuran nilai-nilai asing yang belum tentu selaras.
Inilah makna kebangkitan dari akar budaya—sebuah proses sadar untuk menggali, merawat, dan mengembangkan kekayaan lokal dalam rangka membangun peradaban bangsa yang unggul.
Dengan pendekatan ini pula, teknologi tidak hanya hadir sebagai alat bantu, tetapi sebagai instrumen pembentuk karakter, identitas, dan peradaban.
Dalam konteks Bugis Makassar, inisiatif seperti digitalisasi aksara lontara atau pengembangan aplikasi berbasis nilai siri’ na pacce bukan hanya pelestarian budaya, tetapi juga strategi pendidikan karakter yang relevan dengan zaman.
Hal ini sejalan dengan falsafah Bugis “Resopa Temmangingngi, Naletei Pammase Dewata”—bahwa kerja keras dan keteguhan dalam menjaga nilai dan martabat akan membuka jalan pada anugerah dan kemuliaan.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.