Opini
Tahun Penuh Tipu Daya
Hadis ini terdapat dalam beberapa kitab, dengan sedikit variasi dalam lafaz, namun inti pesannya sama.
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Rasulullah SAW bersabda: "Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya.
Pada masa itu, orang yang berdusta dipercaya, orang jujur dianggap pembohong, pengkhianat diberi amanah, dan orang yang amanah dianggap pengkhianat.
Dan pada masa itu, Ruwaibidhah akan berbicara." Para sahabat bertanya: "Siapakah Ruwaibidhah itu, wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab: "Orang yang rendah dan tidak kompeten, berbicara dalam urusan publik. (Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dan Hakim ).
Hadis ini terdapat dalam beberapa kitab, dengan sedikit variasi dalam lafaz, namun inti pesannya sama.
Mayoritas ulama hadis menilai hadis ini sahih dari segi sanad dan matan (isi), karena: Perawinya terpercaya (tsiqah), sanadnya bersambung (muttaṣil), tidak ada cacat (‘illah) atau kejanggalan (syādhdz).
Ahli hadis Syaikh al-Albani juga menshahihkan hadis ini dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah.
Hadis ini mengandung peringatan sekaligus amanah: agar kita tidak terjerumus menjadi bagian dari ruwaibidhah, dan tidak membiarkan ruang publik didominasi oleh mereka.
Olehnya itu, Umat Islam harus mewaspadai ruwaibidhah tersebut.
Mewaspadai Ruwaibidhah
Secara bahasa, ruwaibidhah berasal dari akar kata rabadha, yang berarti rendah, tidak bermutu, atau remeh.
Dalam konteks hadis, yang dimaksud dengan ruwaibidhah adalah orang yang dangkal pemahaman, namun berani berbicara atau bahkan memimpin pembicaraan dalam persoalan-persoalan besar seperti agama, politik, hukum, dan kebijakan publik.
Hadis tersebut merupakan peringatan sosial dan moral. Kata kunci dalam hadis ini adalah “ruwaibidhah”, yaitu orang yang tidak layak namun mengambil peran sebagai pemimpin publik dalam urusan penting umat. Namun, mereka diberi amanah untuk mengurus kepentingan publik.
Hadis ini sering dikaitkan dengan banyaknya informasi menyesatkan di media terutama media sosial hingga di masyarakat.
Orang-orang yang tidak berkompeten berbicara soal agama, politik, hukum, dan lain-lain, namun justru diikuti dan dipercaya karena diberi amanah serta terjadinya krisis kepemimpinan dan rusaknya moral publik.
Dalam era digital saat ini, khususnya di Indonesia, fenomena ruwaibidhah sangat terasa melalui berbagai kanal media sosial dan ruang publik lainnya.
Banyak orang yang tidak memiliki kompetensi, tidak punya pengetahuan yang mendalam, atau bahkan tidak memiliki integritas, justru diberi amanah karena telah berjasa sebagai tim sukses dan tampil sebagai figur publik yang terpaksa diikuti jutaan orang.
Mereka itu diantaranya kaum influencer yang bicara soal agama atau kesehatan tanpa dasar keilmuan. Mereka menjadi tokoh sembari menyebarkan teori konspirasi, dan dipercaya lebih dari seorang ahli sebenarnya.
Mereka tidak pernah belajar politik, agama, atau kebijakan publik, tapi mengomentari arah negara dengan narasi menyesatkan. Menyebarkan hoaks dan fitnah, dan lebih dipercaya daripada berita dari sumber resmi.
Ruwaibidhah Modern
Inilah zaman "matinya kepakaran" (The Death of Expertise) seperti yang dikemukakan oleh Tom Nichols, seorang profesor dan penulis asal Amerika Serikat.
Nichols menyampaikan bahwa dalam era informasi (terutama era internet dan media sosial), otoritas pakar atau ahli kian diremehkan oleh masyarakat luas. Berikut beberapa ciri utama matinya kepakaran menurut Tom Nichols:
1. Semua Orang Merasa Ahli.
Orang merasa punya akses ke informasi untuk menguasai suatu pemahaman atau keahlian.
Contoh: setelah membaca artikel di internet atau menonton video YouTube, seseorang merasa sudah cukup tahu untuk menolak pandangan ahli yang menghabiskan puluhan tahun belajar di bidangnya.
2. Terjadi ketidakpercayaan terhadap Institusi dan Ahli.
Masyarakat semakin mencurigai otoritas ilmiah, termasuk dokter, ilmuwan, akademisi, bahkan hakim atau jurnalis. Mereka cenderung percaya teori konspirasi atau narasi dari figur populer.
3. Adanya keangkuhan Anti-Intelektual.
Jangankan rendah hati dalam ketidaktahuan, banyak orang justru merasa bangga dengan kebodohan atau ketidaktahuan mereka.
Mereka menolak belajar lebih lanjut, dan justru mengejek yang berpengetahuan sebagai “elit sombong”.
4. Ilmu dan fakta dianggap sekadar opini.
Kebenaran ilmiah disamakan dengan opini pribadi.
Misalnya, fakta tentang perubahan iklim atau vaksinasi dianggap setara dengan “pendapat pribadi” yang tidak berdasar.
5. Media sosial di sekitar mereka membentuk gelembung pengetahuan.
Orang hanya mengikuti informasi yang mengonfirmasi pandangan pribadinya (confirmation bias), bukan yang menantang atau memperluas wawasan.
Ini menciptakan ruang gema yang mematikan diskusi sehat.
6. Pendidikan Tanpa Kedalaman.
Nichols mengkritik sistem pendidikan modern yang terlalu menekankan pada perasaan baik (feel good) daripada kemampuan berpikir kritis dan analitis.
Akibatnya, banyak lulusan yang merasa “tahu banyak” tapi tidak bisa membedakan antara pengetahuan dan opini.
Implikasi dari matinya kepakaran tersebut, mengakibatkan keputusan publik jadi sembrono, demokrasi melemah, karena debat berbasis fakta tak lagi dihargai.
Ujung- ujungnya muncullah para Ruwaibidhah modern, sebagaimana digambarkan dalam hadis Nabi tersebut di atas. Wallahu a’lam bisawwabem
Gaduh Rekening Dormant: Ketika PPATK Bertindak Sebelum Berpikir |
![]() |
---|
HUT ke-80 RI: Merdeka dari Penjajah, Tapi Terjajah Pajak |
![]() |
---|
Catatan Singkat HUT ke-80 RI: Makna Kemerdekaan Dibalik Seragam Sekolah Gratis |
![]() |
---|
Vladimir Putin Undur 30 Menit untuk Menguji Donald Trump |
![]() |
---|
Normalisasi, Mahasiswi Aborsi karena Hamil Luar Nikah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.