Opini
Perang Dagang Amerika VS China: Antara Kepentingan Ekonomi dan Perebutan Opini Global
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China merupakan fenomena geopolitik, adu gengsi, adu kekuatan, hingga adu narasi.
Oleh: Muh Syaiful
Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia
TRIBUN-TIMUR.COM- “Narasi adalah senjata dan opini menjadi medan tempur”
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China merupakan fenomena geopolitik, adu gengsi, adu kekuatan, hingga adu narasi.
Dimulai pada tahun 2018 dan tahun 2025 di awal pemerintahan Presiden Donald Trump, perang dagang ini bukan hanya soal tarif dan neraca perdagangan, tetapi juga mencerminkan pertarungan dua kekuatan global dalam membentuk opini global.
Dalam esai ini, penulis berargumen bahwa perang dagang Amerika vs China, bukan hanya sebagai konflik ekonomi, melainkan juga sebagai perang opini yang berakar pada perebutan dominasi naratif dan ideologis dalam tatanan global.
Konflik dagang ini bermula dari keluhan Amerika yang menuduh bahwa praktik dagang yang dilakukan oleh China, dianggap tidak adil. Termasuk subsidi industri domestik, pencurian kekayaan intelektual, dan hambatan akses pasar bagi perusahaan asing (Office of the United States Trade Representative, 2018).
Pemerintahan Trump kemudian memberlakukan tarif tinggi terhadap produk-produk China, yang dibalas dengan langkah serupa oleh China. Namun, di luar sanksi ekonomi, kedua negara juga melancarkan serangan dalam ranah opini global.
Media, diplomasi, dan teknologi digital menjadi arena pertarungan narasi untuk memperebutkan opini global.
Media arus Utama dan Media Sosial
Salah satu dimensi penting dari perang opini ini adalah penggunaan media dan diplomasi untuk membentuk persepsi tatanan global.
Amerika melalui media arus utamanya, mencoba membingkai China sebagai ancaman terhadap tatanan ekonomi global.
Di sisi lain, China mengembangkan "Wolf Warrior Diplomacy" dan memperkuat kehadiran media seperti CGTN dan Xinhua dalam berbagai bahasa untuk menandingi dominasi media Barat.
Konsep Wolf Warrior Diplomacy mencerminkan gaya diplomatik China yang semakin konfrontatif. Hal ini dipicu oleh interaksi antara diplomasi formal dan semangat nasionalisme yang berkembang di ruang digital.
Diplomasi bergaya wolf warrior bukan semata-mata inisiatif dari elite politik China, tetapi merupakan respon terhadap tekanan (sentimen) opini global (Sullivan dan Wang, 2022).
Praktik tersebut menunjukkan bahwa China tak hanya bertugas menjalankan kebijakan luar negeri, tetapi menjadi aktor yang aktif dalam membentuk dan merespons sentimen publik yang berkembang di media sosial.
Representasi dari gaya tersebut, yaitu menggunakan retorika nasionalisme untuk membela kepentingan China sekaligus menunjukkan ketegasan terhadap kritik luar negeri khususnya yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
Diplomasi tersebut berakar dari ideologi nasionalisme yang menganggap bahwa China memiliki hak untuk melawan dominasi narasi Barat demi mempertahankan kedaulatannya, termasuk dalam ranah opini global.
Menariknya, diplomasi tersebut menimbulkan dilema bagi pemerintah China, yang sangat berguna dalam membangun citra nasional yang kuat di dalam negeri.
Namun, gaya tersebut berpotensi mengganggu hubungan luar negeri dan memperburuk persepsi internasional terhadap China.
Dengan demikian, Wolf Warrior Diplomacy merefleksikan pergeseran ideologis menuju diplomasi yang populis dan reaktif. Sehingga memperlihatkan kontestasi global melalui pertarungan narasi dan persepsi.
Di era digital, platform media sosial menjadi salah satu alat utama dalam perang opini. Baik Amerika maupun China terlibat dalam propaganda digital.
Aktor-aktor negara dari kedua belah pihak memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan narasi yang menguntungkan mereka, bahkan dengan menciptakan berbagai akun-akun untuk mempengaruhi opini global.
Perang opini ini juga melibatkan perebutan pengaruh terhadap negara-negara dunia ketiga, khususnya di Afrika dan Asia Tenggara. China dengan Belt and Road Initiative (BRI) berusaha membangun citra sebagai mitra pembangunan yang andal, sementara Amerika mencoba menandingi narasi tersebut melalui kritik terhadap jebakan utang dan kurangnya transparansi dalam proyek-proyek BRI (Brautigam, 2020).
Di sini, opini dan elite politik menjadi medan kontestasi yang menentukan keberhasilan strategi “soft power” masing-masing negara.
Opini dan Ideologi
Sehingga, penting untuk melihat bahwa perang opini antara Amerika dan China dari sudut pandang ideologis. Amerika mengusung nilai-nilai demokrasi liberal dan pasar bebas (kompetisi).
Namun, di era Trump mulai melakukan “perang dagang” sebagai proteksi terhadap negara-negara yang menjadi mitra dagangnya.
Sedangkan China menekankan stabilitas, pembangunan terencana, dan kedaulatan negara.
Ketika kedua negara menyampaikan pesan-pesan mereka ke dunia, mereka tidak hanya bersaing dalam hal kebijakan, tetapi dalam membentuk kerangka berpikir global.
Oleh karena itu, mengapa perang dagang tidak bisa dipisahkan dari konteks perang ideologi dan nilai-nilai global.
Dalam konteks domestik, baik Amerika maupun China juga menggunakan retorika perang dagang untuk mengkonsolidasikan dukungan politik dalam negeri.
Di Amerika, isu perdagangan sering dikaitkan dengan hilangnya lapangan kerja manufaktur.
Sementara di China, konflik ini digunakan untuk menumbuhkan semangat nasionalisme dan kemandirian teknologi.
Media domestik dari kedua negara memainkan peran penting dalam membentuk opini sesuai dengan agenda pemerintahan masing-masing (Shirk, 2020).
Selain itu, terdapat dimensi teknologi yang menjadi medan baru dalam perang opini.
Larangan terhadap perusahaan teknologi seperti Huawei dan TikTok dengan dalih keamanan nasional, melainkan sebagai upaya membendung pengaruh teknologi digital China yang semakin berkembang pesat.
Ketegangan ini menggambarkan bagaimana teknologi menjadi simbol dominasi dan kekuatan dalam konteks geopolitik modern (Segal, 2019).
Konflik “perang dagang” menunjukkan bahwa batas antara kebijakan luar negeri dan opini global semakin kabur.
Diplomasi, opini, dan propaganda menjadi instrumen yang sah dalam menjalankan politik luar negeri.
Amerika Serikat dan China, bukan hanya bersaing dalam aspek militer dan ekonomi. Akan tetapi, kemampuan membentuk wacana global dan mengendalikan narasi, tentang siapa yang menjadi pemenang dalam sistem dunia yang terus berubah.
Dengan demikian, perang dagang Amerika vs China, tidak hanya dilihat sebagai peristiwa ekonomi. Melainkan sebagai gejala transformasi tatanan global, di mana pengaruh dan kekuasaan tidak lagi ditentukan oleh kekuatan militer atau ekonomi.
Akan tetapi, kemampuan mengontrol opini dan persepsi global.
Dunia saat ini, hidup dalam era dimana narasi menjadi senjata, dan opini menjadi medan tempur.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.