Opini
Semangat Para Buruh
Fenomena buruh di Indonesia mencerminkan kontradiksi antara pertumbuhan ekonomi nasional dengan kualitas kesejahteraan tenaga kerja.
Oleh: Rahmat Muhammad
Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Masih suasana sepi di pagi hari tanggal 1 Mei bertemu dengan Anggota Polri dan TNI yang bertugas mengamankan rencana Aksi Buruh di pusat titik demonstrasi dengan damai, sambil siaga menyambut kedatangan BURUH dari berbagai arah.
Seperti tahun sebelumnya mencoba berbaur di lapangan untuk lebih memahami apa tuntutan Buruh sebenarnya yang tiap tahun diperingati bahkan sejak tahun 2014 ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional bentuk apresiasi pemerintah kepada Buruh se-dunia.
Hari Buruh Internasional atau May Day, sebuah momen penting bagi kelas pekerja di seluruh dunia untuk menyuarakan hak-haknya.
Di Indonesia, peringatan ini selalu diwarnai dengan demonstrasi, unjuk rasa, dan orasi di berbagai kota.
Namun di balik gegap gempita peringatan Hari Buruh, tersimpan potret buram yang masih menghantui kehidupan mayoritas buruh Indonesia: upah rendah, ketidakpastian kerja, serta perlindungan hukum yang lemah.
Fenomena buruh di Indonesia mencerminkan kontradiksi antara pertumbuhan ekonomi nasional dengan kualitas kesejahteraan tenaga kerja.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja informal masih mendominasi struktur ketenagakerjaan Indonesia, yakni mencapai lebih dari 58 persen dari total pekerja.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar buruh Indonesia bekerja tanpa kontrak yang jelas, tanpa jaminan sosial, dan tanpa akses terhadap hak-hak normatif seperti cuti, tunjangan, atau pesangon.
Selain itu, sistem outsourcing dan kerja kontrak yang semakin meluas turut memperburuk posisi tawar buruh.
Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020 dan revisinya tahun 2023 telah menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan buruh.
Banyak pasal yang dianggap merugikan, seperti fleksibilitas dalam pengupahan, ketidakjelasan tentang batas waktu kerja kontrak, serta peluang PHK yang makin mudah.
Pemerintah berdalih bahwa deregulasi ini diperlukan demi menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja.
Namun dalam praktiknya, hal ini justru memperkuat ketimpangan relasi industrial antara pemilik modal dan buruh.
Dari perspektif Sosiologi, situasi ini menunjukkan adanya reproduksi ketimpangan struktural.
Buruh berada dalam posisi subordinat, sementara pengusaha dan negara cenderung memperkuat rezim pasar tenaga kerja yang fleksibel namun tidak adil.
Buruh bukan hanya mengalami eksploitasi ekonomi, tetapi juga pengasingan (alienasi) dari proses produksi dan hasil kerjanya.
Dalam banyak kasus, buruh tidak memiliki ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut nasibnya sendiri.
Di sisi lain, muncul pula bentuk-bentuk perlawanan baru dari kelas pekerja.
Serikat-serikat BURUH mulai memanfaatkan media sosial sebagai ruang advokasi digital, membangun jaringan solidaritas lintas sektor, dan terlibat dalam aliansi masyarakat sipil untuk menekan kebijakan pemerintah.
Fenomena ini menjadi menarik untuk dilihat sebagai transformasi gerakan buruh yang tidak lagi hanya mengandalkan aksi jalanan, tetapi juga strategi-strategi advokasi berbasis data dan komunikasi publik.
Namun, perjuangan buruh tidak boleh dibebankan hanya kepada buruh itu sendiri.
Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin hak atas pekerjaan yang layak, pengupahan yang manusiawi, serta perlindungan sosial bagi setiap warga.
Oleh karena itu, momentum Hari Buruh seharusnya menjadi refleksi bersama untuk mengevaluasi arah kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia.
Pemerintah perlu meninjau ulang berbagai regulasi yang melemahkan posisi buruh, memperkuat fungsi pengawasan ketenagakerjaan, dan memastikan implementasi perlindungan sosial bagi seluruh pekerja, baik formal maupun informal.
Sementara itu, masyarakat sipil dan akademisi juga punya peran penting dalam membangun kesadaran kritis tentang pentingnya keadilan kerja sebagai fondasi pembangunan yang inklusif.
Hari Buruh bukan sekadar hari libur nasional tetapi simbol perjuangan panjang yang belum usai.
Sebuah pengingat bahwa di balik pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur, masih banyak buruh yang hidup dalam ketidakpastian.
Sudah saatnya kita menempatkan buruh bukan sekadar sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek utama yang layak mendapatkan hak, suara, dan penghidupan yang bermartabat.
Cukup Marsinah BURUH dari Jawa Timur yang jadi korban terakhir pada tahun 1993, simbol perjuangan kaum BURUH di Indonesia yang diusulkan sebagai pahlawan nasional dan Prabowo sebagai Presiden menyatakan persetujuan atas usul tersebut di depan ribuan BURUH yang berkumpul di Monas.
Sehingga seharusnya Peringatan Hari BURUH tidak perlu terjadi tindakan kekerasan yang potensi menelan korban efek dari aksi unjuk rasa.
Bersyukur di Sulsel khususnya semua berjalan secara damai dalam pengawasan pengamanan dipimpin Kapolda Sulsel Irjen Pol Rusdi Hartono, baik aparat keamanan maupun para BURUH juga masyarakat bisa memahami kondisi ini sebagai sesuatu yang patut diapresiasi.
Besar harapan kita semua kiranya 6 tuntutan BURUH pada May Day tahun 2025 ini dapat terwujud yaitu hapuskan outsourcing, kedua upah layak, ketiga bentuk Satgas PHK (pemutusan hubungan kerja), keempat pengesahan RUU Ketenagakerjaan yang baru, kelima disahkannya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan yang keenam adalah berantas korupsi dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset.
Akhirnya tuntutan BURUH tersebut direspon positif oleh Presiden Prabowo dengan dibentuknya Dewan Kesejahteraan BURUH, semoga.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.