Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Darurat Literasi di Era Digital: Apa Gunanya Sekolah Jika Tak Bisa Membaca Dunia?

Di Hari Pendidikan ini, kita harus bertanya lebih serius: apakah kita masih mengajarkan anak-anak untuk sekadar membaca teks?

Editor: Hasriyani Latif
DOK PRIBADI/SUHARTINA
OPINI LITERASI - Suhartina, Dosen Bahasa Indonesia IAIN Parepare/Ketua FLP Kota Parepare. Suhartina menulis opini terkait literasi di era digital. 

Oleh: Suhartina

Dosen Bahasa Indonesia IAIN Parepare dan Ketua FLP Kota Parepare

TRIBUN-TIMUR.COM - Pendidikan adalah lentera, dan literasi adalah minyaknya.

Tanpa literasi, pendidikan kehilangan cahayanya.

Namun di tengah era digital yang penuh distraksi, minyak ini semakin cepat menguap.

Di Hari Pendidikan ini, kita harus bertanya lebih serius: apakah kita masih mengajarkan anak-anak untuk sekadar membaca teks, atau melatih mereka memahami dunia dengan hati, nalar, dan keberanian moral?

Sekadar bisa membaca tidak lagi cukup. Indonesia memang telah menunjukkan kemajuan kuantitatif dalam memperluas akses pendidikan.

Tetapi, laporan PISA (OECD, 2022) mengungkapkan bahwa hampir 50 persen siswa Indonesia masih berada di bawah tingkat literasi minimum.

Mereka mampu mengeja teks, tetapi kesulitan memahami, menganalisis, dan mengevaluasi makna.

Jika pendidikan hanya berhenti pada kemampuan teknis ini, kita mencetak lulusan yang rentan disesatkan, bukan warga negara yang tercerahkan.

Mereka mampu mengeja kata demi kata, tetapi kesulitan memahami, menganalisis, dan mengevaluasi makna.

Jika pendidikan hanya berhenti pada kemampuan teknis ini, kita mencetak lulusan yang rentan disesatkan, bukan warga negara yang tercerahkan.

Tsunami informasi digital menggulung tanpa ampun. Fenomena ini memperparah tantangan literasi: siswa dihadapkan pada lautan informasi yang deras, cepat, dan seringkali menyesatkan.

Tanpa literasi media, literasi data, dan literasi emosional, mereka menjadi target empuk hoaks, ujaran kebencian, hingga manipulasi data.

Kasus viralnya berita palsu tentang konflik antarkelompok, manipulasi citra tokoh publik dengan teknologi deepfake, serta penyebaran teori konspirasi di media sosial menunjukkan betapa rentannya generasi muda tanpa literasi kritis. 

Dalam dunia seperti ini, keterampilan abad ke-21 bukan semata tentang menguasai perangkat teknologi, melainkan kemampuan memilah informasi, mempertimbangkan kebenaran, dan bertindak bijaksana.

Manusia bukan hanya makhluk kognitif, tetapi juga emosional.

Literasi sejati mencakup kemampuan mengelola emosi, berempati, dan membangun ketahanan mental.

Pendidikan yang mengabaikan dimensi ini berisiko melahirkan generasi yang cerdas secara teknis, tetapi rapuh dalam menghadapi tekanan hidup.

Laporan terbaru dari UNICEF dan WHO (2024) menunjukkan peningkatan masalah kesehatan mental di kalangan remaja, terutama akibat paparan berlebihan terhadap media sosial, tekanan citra diri, dan polarisasi digital.

Banyak remaja mengalami kesulitan memahami dan mengelola emosi karena pendidikan formal masih terlalu menekankan prestasi akademik, namun melupakan penguatan karakter dan keseimbangan emosional.

Literasi emosional bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi esensial untuk membentuk manusia yang utuh, resilien, dan adaptif menghadapi dunia yang kompleks.

Di tengah tantangan itu, selalu ada ruang untuk perubahan. Ketimpangan infrastruktur digital dan disparitas antarwilayah memang menjadi hambatan, tetapi bukan alasan untuk menyerah.

Gerakan literasi berbasis komunitas, penguatan digitalisasi bahan ajar, hingga kampanye literasi media di sekolah-sekolah telah membuktikan diri sebagai upaya nyata untuk membalik keadaan.

Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diinisiasi Kemendikbud, misalnya, meski masih menghadapi tantangan di lapangan, menunjukkan bahwa perubahan budaya membaca bisa dimulai dari level paling dasar.

Pendidikan literasi yang kokoh tidak hanya membentuk individu yang cerdas, melainkan juga memperkuat demokrasi.

Masyarakat yang literat tidak mudah dipecah oleh polarisasi semu, tidak gampang dimanipulasi oleh narasi palsu, dan lebih siap membangun peradaban yang adil dan beradab.

Hari Pendidikan Nasional seharusnya tidak menjadi seremoni nostalgia belaka, melainkan momentum membangun literasi yang membebaskan, bukan membelenggu; memberdayakan, bukan sekadar mencetak angka.

Membaca dunia berarti memahami perubahan, berempati terhadap sesama, kritis terhadap ketidakadilan, dan kreatif dalam membangun masa depan. Tanpa literasi yang hidup dan utuh ini, pendidikan kehilangan rohnya.

Kini saatnya kita bertanya: apakah kita hanya melahirkan manusia yang bisa membaca teks, atau manusia yang mampu memahami dan membentuk kehidupan?

Mari kita mulai perubahan kecil: menjadikan setiap ruang interaksi — kelas, rumah, media sosial — sebagai taman penyemaian literasi sejati.

Sebab di tangan generasi yang mampu membaca dunia, masa depan Indonesia bukan hanya lebih cerah, tetapi juga lebih adil, lebih bijaksana, dan lebih manusiawi.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Mari membangun Indonesia yang literat, resilien, dan berdaya.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved