Demokrasi yang Kehilangan Ruh: Catatan Intelektual-Spiritual untuk Palopo

Oleh: Muhammad Lutfi Hasrah

Mahasiswa UIN Alauddin Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - DEMOKRASI bukan sekadar mekanisme lima tahunan untuk memilih pemimpin.

Ia adalah proyek peradaban, yang seharusnya dibangun di atas fondasi moralitas, intelektualitas, dan spiritualitas.

Namun, di banyak tempat—termasuk di kota-kota kecil yang sedang tumbuh—demokrasi tampak seperti jasad hidup tanpa ruh. Ia berjalan, tapi kehilangan arah. Ia hidup, tapi kehilangan nilai.

Pemilu seringkali direduksi menjadi kompetisi suara semata. Sementara pertanyaan paling mendasar siapa yang layak memimpin? tidak lagi ditimbang dengan akal sehat dan hati nurani.

Yang terjadi justru parade janji, pamer kekuatan, dan pencitraan tanpa substansi.

Padahal, kepemimpinan bukan cuma tentang siapa yang populer, tapi siapa yang punya integritas.

Intelektualitas yang Terbengkalai

Dalam filsafat politik klasik, Plato mengimpikan seorang pemimpin yang sekaligus filsuf.

Sosok yang mampu berpikir melampaui kepentingan sesaat, dan menimbang setiap kebijakan dengan prinsip keadilan dan kebijaksanaan.

Tapi di realitas demokrasi hari ini, pendidikan politik cenderung dangkal. Publik lebih akrab dengan jargon dan baliho, daripada debat gagasan yang substansial.

Intelektualitas dalam politik kita sedang sakit. Diskusi publik jarang menyentuh isu-isu mendalam.

Rakyat tidak lagi diajak berpikir, hanya diajak memilih. Kampanye tidak lagi menjadi ruang pendidikan, tapi panggung sandiwara.

Padahal jika rakyat ingin pemimpin yang cerdas dan bijak, maka mereka juga harus mencerdaskan dirinya terlebih dahulu.