APBN
Pertama Kali Dalam Sejarah Pemerintahan Prabowo Subianto, APBN Tekor Rp104,2 Triliun
Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 memiliki defisit Rp104,2 triliun per 31 Maret.
Bahkan, berbagai inisiatif baru tetap bisa dibiayai dalam ruang fiskal yang tersedia.
Tak hanya itu, alokasi untuk sektor pertahanan dan dana desa juga tetap masuk dalam struktur APBN tanpa menambah beban fiskal.
Sri Mulyani menekankan bahwa seluruh program sudah diperhitungkan secara menyeluruh, termasuk sumber pendanaannya, seperti dividen dari BUMN.
"Itu semuanya dibiayai di dalam amplop APBN yang ada. Jadi, jangan khawatir. Tidak jebol APBN-nya! Banyak yang mengatakan apakah APBN-nya jebol? Tidak! Program-program Bapak Presiden ada di dalam ruang APBN yang ada," tuturnya.
"Postur dari APBN kita sampai dengan akhir Maret (2025) itu sekarang sudah dalam situasi membaik. Kemarin headline seolah-olah mengatakan, 'Oh penerimaan pajak mengalami kontraksi dan lain-lain'," kata Ani.
“Jadi kami ingin menyampaikan bahwa APBN tetap terjaga sebagai anchor confidence, karena ini penting sekali,” ucapnya.
Sebelumnya sejumlah pakar ekonomi sempat melabeli kondisi APBN sebagai "tanda kekhawatiran".
Hal itu mengacu pada defisit APBN yang terjadi pada Februari 2025 lalu.
Ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mengatakan defisit APBN pada Februari itu adalah yang pertama kalinya dalam beberapa tahun.
"Pada tahun-tahun sebelumnya—2024, 2023, dan 2022—realisasi APBN periode Februari selalu surplus. Ini baru pertama kali per akhir Februari sudah defisit," ujar Andri.
Andri memprediksi kondisi ini kemungkinan besar akan terus terus berlanjut jika program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang membebani APBN terus berlanjut.
"Defisit APBN akan sangat mungkin menyentuh batas pelanggaran UU yakni di 3 persen jika kondisi dan arah kebijakan pemerintah terus berlangsung hingga akhir tahun," ujarnya.
Andri merujuk ke batas defisit 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sejak diterbitkan, batas itu tidak pernah dilanggar kecuali pada masa pandemi COVID-19.
Sementara Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, memperingatkan penerimaan pajak mengalami "penurunan tajam".
"Hingga Februari 2025, penerimaan pajak baru mencapai Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target APBN. Capaian ini anjlok 30,19 % dibandingkan penerimaan pajak pada Februari 2024 yang mampu mencapai Rp269,02 triliun," ujarnya.
Baik Achmad maupun Andri menyebut salah satu penyebab turunnya penerimaan dari sektor pajak adalah Coretax dan hal ini harus segera dievaluasi pemerintah.(tribun network/lit/igm/dod)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.