Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Irfiani Triastari

Menghidupkan Nilai Silaturahmi di Tempat Kerja

Silaturahmi menjadi inti dari suasana Lebaran, menjembatani jarak dan menyembuhkan luka relasi.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Irfiani Triastari Research & Development at INSIGHT Sinergi Talenta 

Oleh: Irfiani Triastari

Research & Development at INSIGHT Sinergi Talenta

TRIBUN-TIMUR.COM - Setiap tahun, Idulfitri dirayakan dengan penuh sukacita.

Tradisi maaf-maafan menjadi simbol kembalinya manusia ke fitrah—jiwa yang bersih, terbuka, dan siap memperbaiki relasi yang mungkin sempat retak. 

Silaturahmi menjadi inti dari suasana Lebaran, menjembatani jarak dan menyembuhkan luka relasi.

Namun, nilai tersebut seringkali hanya hidup dalam ranah keluarga dan pertemanan, sementara ruang kerja—tempat interaksi profesional berlangsung setiap hari—luput dari semangat yang sama.

Padahal, tempat kerja juga menyimpan banyak dinamika hubungan antar manusia.

Perbedaan gaya komunikasi, tekanan target, ekspektasi yang tak terucap, serta konflik kecil yang berulang dapat memunculkan jarak emosional antar individu dalam organisasi.

Di tengah rutinitas profesional, relasi kerja seringkali berjalan fungsional saja, tanpa benar-benar terhubung secara batin.

Dalam kondisi seperti ini, semangat silaturahmi pasca-Idulfitri semestinya menjadi momen strategis untuk memperbaiki suasana.

Beberapa studi menunjukkan bahwa kualitas hubungan interpersonal di tempat kerja berkaitan erat dengan produktivitas dan kepuasan kerja.

Data dari Gallup (2023) menyebutkan bahwa karyawan yang merasa memiliki hubungan positif dengan rekan kerja lebih mungkin terlibat secara aktif, menunjukkan loyalitas, dan bertahan lebih lama di organisasi.

Sebaliknya, lingkungan kerja yang renggang secara emosional rentan melahirkan sikap pasif, konflik yang tak terselesaikan, hingga turnover tinggi.

Sayangnya, dalam budaya kerja yang sering menekankan performa dan efisiensi, aspek relasi kerap terpinggirkan. Komunikasi hanya berfokus pada hal teknis. Masalah personal dianggap beban tambahan.

Padahal, dalam banyak kasus, persoalan produktivitas justru bermula dari komunikasi yang buruk dan kurangnya keterhubungan emosional di antara anggota tim.

Nilai silaturahmi dapat menjadi titik masuk untuk memperbaiki hal tersebut.

Tidak harus berupa ucapan formal "mohon maaf lahir dan batin", tetapi dalam bentuk sikap terbuka, kemauan untuk memperbaiki pola komunikasi, dan kesediaan untuk mendengar.

Budaya saling menyapa, mengapresiasi kerja tim, serta memberi ruang maaf atas kesalahan kecil yang mungkin terjadi, bisa menciptakan atmosfer kerja yang lebih inklusif dan sehat secara psikologis.

Dalam konteks manajerial, pasca-Lebaran menjadi waktu yang tepat untuk mencairkan suasana yang sempat kaku.

Pemimpin tim dapat memulai dengan percakapan ringan, berbagi cerita libur Lebaran, atau menyampaikan apresiasi secara tulus atas kerja keras anggota tim.

Langkah ini memberi sinyal bahwa nilai kemanusiaan tetap hadir dalam sistem kerja, dan bahwa manusia dihargai tidak hanya karena output-nya, tapi juga karena peran sosial dan emosionalnya.

Lebih jauh, silaturahmi juga dapat mengurangi risiko konflik jangka panjang. Banyak gesekan kerja yang terjadi bukan karena perbedaan besar, melainkan karena miskomunikasi dan ego yang tidak tersalurkan.

Dengan budaya terbuka dan saling menghargai, banyak konflik bisa dicegah sejak awal.

Penelitian dari Harvard Business Review (2022) menunjukkan bahwa tim yang memiliki kedekatan sosial dan saling percaya dapat menyelesaikan masalah lebih cepat dan bekerja lebih efisien dibanding tim yang secara fungsional bagus namun hubungan personalnya lemah.

Budaya kerja yang sehat tidak tercipta dalam semalam. Ia dibentuk dari sikap-sikap kecil yang diulang dan dirawat.

Menghidupkan nilai silaturahmi setelah Idulfitri bisa menjadi awal dari budaya yang lebih terbuka dan manusiawi.

Bukan berarti menghapus profesionalisme, tetapi menyeimbangkannya dengan empati dan niat baik.

Profesional yang mampu bekerja dengan hati, bukan sekadar menjalankan fungsi, akan memberi dampak jangka panjang bagi organisasi maupun dirinya sendiri.

Nilai ini juga penting dalam menghadapi tantangan kerja masa kini yang semakin kompleks dan serba cepat.

Di tengah tekanan yang meningkat, ruang kerja yang penuh pengertian menjadi kebutuhan mendesak.

Apalagi saat ini, banyak pekerja mengalami tekanan mental akibat tuntutan yang tak selalu seimbang dengan penghargaan atau dukungan emosional yang diterima.

Idulfitri boleh saja usai, tetapi nilai-nilainya tidak perlu berakhir di ruang tamu rumah.

Tempat kerja pun bisa menjadi ruang untuk menumbuhkan kembali semangat keterbukaan, saling menghargai, dan kemauan untuk memperbaiki.

Ketika hubungan kerja dibangun di atas dasar kepercayaan dan penghargaan antarindividu, produktivitas bukan hanya meningkat, tapi juga berkelanjutan.

Silaturahmi bukan hanya urusan keluarga. Ia juga adalah bagian dari budaya kerja yang sehat.

Menghidupkannya di tempat kerja bukan sekadar idealisme, tetapi investasi jangka panjang untuk manusia dan sistem kerja yang lebih utuh.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved