Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Alem Febri Sonni

Menjaga Api Kebebasan Pers di Tengah Intimidasi: Refleksi Atas Teror Terhadap Tempo

Peristiwa ini bukan sekadar kasus kriminal biasa, melainkan sebuah serangan terhadap salah satu pilar demokrasi kita: kebebasan pers.

Editor: Saldy Irawan
ISTIMEWA/AF Sonni
Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin Makassar, Dr. Alem Febri Sonni 

Ketika jurnalis atau media bekerja dalam iklim ketakutan, fungsi pers sebagai watchdog demokrasi akan melemah.

Jurnalis mungkin akan melakukan self-censorship, menghindari topik-topik kontroversial, atau bahkan mengabaikan informasi penting yang seharusnya diketahui publik. 

Pada akhirnya, masyarakatlah yang dirugikan karena kehilangan akses terhadap informasi yang kritis dan berimbang.

Dalam konteks teori ruang publik (public sphere) yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas, pers memiliki peran vital dalam menciptakan dan memelihara ruang diskusi publik yang sehat.

Ketika ruang ini terancam oleh intimidasi, maka demokrasi deliberatif yang menjadi cita-cita masyarakat demokratis akan sulit terwujud.

Oleh karena itu, serangan terhadap Tempo harus dilihat sebagai serangan terhadap ruang publik Indonesia secara keseluruhan.

ISKI Pusat dengan tegas menyatakan: "Pers dalam menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol sosial dijamin oleh undang undang, sehingga pengiriman pesan berupa kekerasan simbolik yang dilakukan secara anonim ke kantor Tempo dapat dimaknai sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers di Indonesia." Pernyataan ini menegaskan bahwa intimidasi terhadap pers bukan sekadar masalah satu institusi media, melainkan menyangkut eksistensi kontrol sosial dalam tatanan demokrasi kita.

Kebebasan Pers sebagai Hak Konstitusional

Kebebasan pers di Indonesia bukanlah pemberian, melainkan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 28F yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Selain itu, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers secara spesifik memberikan jaminan kebebasan bagi pers dalam menjalankan fungsinya. Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara."

Selanjutnya, Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran."

Seperti ditegaskan dalam pernyataan ISKI Pusat: "Pers yang bebas merupakan hasil perjuangan Reformasi 1998, dan oleh karena itu harus tetap dipelihara. Pers tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu untuk alasan apapun juga." Ini mengingatkan kita bahwa kebebasan pers yang kita nikmati saat ini adalah buah dari perjuangan reformasi yang harus terus dijaga bersama.

Dalam ekosistem demokrasi yang sehat, kritik dan ketidaksepakatan terhadap konten media adalah hal yang normal dan bahkan diharapkan. Namun, penting untuk memahami bahwa terdapat mekanisme yang tepat dan bermartabat untuk menyampaikan kritik atau keberatan tersebut.

ISKI Pusat dengan bijak menyatakan: "Pengurus Pusat ISKI berpendapat, bila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers, maka penyelesaian secara bermartabat merupakan langkah elegan yang dapat ditempuh melalui Dewan Pers, dan atau langkah lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana telah dilakukan oleh sejumlah tokoh nasional."

Dalam kerangka teoritis resolusi konflik media, terdapat beberapa pendekatan yang dapat ditempuh. Pertama, UU Pers memberikan hak jawab dan hak koreksi kepada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Konsisten

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved