Opini
Epos La Galigo dan Indonesia yang kehilangan “ Rumah Kecil”
La Galigo tak hanya sebagai mitos penciptaan manusia namun pada kisah selanjutnya menjadi simbol kehidupan yang memiliki keyakinan kuat
drg. Rustan Ambo Asse Sp.Pros
Alumni Fakultas Kedokteran Gigi Unhas
“Apabila dalam sebuah petualangan di laut dan kamu bertemu dengan hambatan atau musuh maka palingkanlah perahumu tujuh kali ke arah kanan dan tujuh kali ke arah kiri, namun apabila hal itu telah dilakukan dan hambatan itu benar-benar tidak bisa dihindari maka tempuhlah jalan kesulitan”
Petikan makna filosofis kisah epos La Galigo itu saya dapatkan dari diskusi seorang akademisi Filologi Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Nurhayati Rahman Mhum dalam Channel Youtube Chronicles bersama Bagus Muljadi. Bagi kita yang menyimak dialektika dua akademisi itu tentu akan memetik banyak hikmah tentang interpretasi kehidupan manusia bugis yang diambil dari sureq naskah kuno La Galigo.
Sebagai sebuah warisan kebudayaan yang otentik bagi masyarakat Sulawesi Selatan pada masa pra Islam La Galigo tak hanya sebagai mitos penciptaan manusia namun pada kisah selanjutnya menjadi simbol kehidupan yang memiliki keyakinan kuat, harmoni, demokrasi, sopan santun, interaksi dengan alam dan hidup yang indah
Konon tak ada jalan mundur bagi bu Nurhayati ketika Prof. Mattulada menyuruhnya membatalkan tesisnya perihal meneliti naskah kuno sureq-sureq atau naskah La Galigo yang sangat rumit , dia tetap berpetualang melampui banyak hambatan yang pada akhirnya benar-benar mencintai naskah-naskah La Galigo dan berhasil lulus S2 dengan predikat cumlaude
Demokrasi dalam literatur La Galigo
Dalam era demokrasi modern manusia seolah-olah terasing dari sistem yang mereka bangun, manusia yang pada awalnya bercita-cita untuk mencapai keadilan dan harmoni dalam kehidupan justru kehilangan navigasi subtansi nilai-nilai kehidupan yang paling mendasar.
Manusia kehilangan kejujuran dan harga diri. Tak ada batas-batas nilai tidak boleh ketika menjadi politisi sehingga melahirkan politisi yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan
Tak ada batas-batas nilai perilaku sopan santun ketika berdiskusi, orang-orang bisa saling memaki dalam mempertahankan pendapat, bahkan dalam era keterbukaan saat ini justru menjadi tontonan sehari-hari anak cucu kita dan tidak menjadi tuntunan buat mereka, hal itu dapat membunuh impian karena tidak beri contoh oleh generasi pendahulunya
Demokrasi yang semakin modern ini pada akhirnya akan semakin matematis segala sesuatunya diukur dari hal-hal materil, hal-hal non materil yang membangun jiwa suatu generasi justru semakin ditinggalkan
Dalam literatur La Galigo simbolisasi demokrasi digambarkan sebagai sebagai hukum sosial yang dinamis, soliditas sosial berjalan damai karena penghargaan terhadap manusia lebih diutamakan. Era sebelum masyarakat bugis menganut agama Islam , naskah La Galigo serupa kitab suci bagi orang bugis. Tuntunan perilaku individu dan perilaku bermasyarakat bahkan sikap terhadap alam dituturkan turun temurun lewat acara “ masureq” atau epos lagaligo disampaikan dengan cara berdendang
Sebelum gerakan feminisme menjamur di barat dalam tradisi bugis perempuan ditempatkan dalam posisi yang setara, sangat berbeda seperti di negeri barat jika ada perubahan pada era tertentu karena posisi perempuan didomestikasi oleh kaum penjajah , nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat bugis makassar sejatinya sudah menjadi pedoman hidup jauh sebelum lahir konsep demokrasi modern
Indonesia yang kehilangan “rumah kecil”
Ulasan menarik Prof. Nurhayati Rahman perihal bagaimana lahirnya Indonesia. Lebih dari seribu suku bangsa pada tahun 1928 telah bersepakat untuk menjadi Indonesia dan memperjuangkan nasib bersama dan ketika pada tahun 1945 mencapai puncak euforia dengan diproklamasikannya Indonesia menjadi negara merdeka, kebanggaan sebagai bangsa yang tumbuh dari keragaman budaya memantik puja dan puji dari bangsa lain
Namun ada satu hal yang terlupakan ditengah euforia kebangsaan pada saat itu, hilangnya akar budaya berbagai suku-suku bangsa yang sangat kaya akan nilai-nilai lokal yang dalam bahasa prof Nurhayati dianalogikan sebagai bangsa yang kehilangan rumah kecil
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/ambo-asse.jpg)