Resensi Buku Sang Pembebas
Novel Sejarah Sang Pembebas Karya Halilintar Lathief: Arung Palakka Pemersatu Bugis-Makassar
pemuda gagah itu bernama lengkap: La Tenritatta To Unru Daeng Serang Petta To Risompae Malampe'e Gemme'na Arung Palakka Paduka Sultan Sa'aduddin
Oleh: Andi Mahrus Andis
Kritikus Sastra dan Budayawan Sulsel
TRIBUN-TIMUR.COM - Buku Sang Pembebas ditulis Halilintar Lathief.
Buku tersebut di bedah di Sekolah Tinggi Filsafat dan Theologia Indonesia Timur (STFT Intim) Jalan Baji Dakka No 7 Makassar, Kamis, 20 Februari 2025.
1. Prolog
Sejak masih di Sekolah Rakyat (sekarang SD), 1960-an, nama Arung Palakka (baca: Aruppalakka) saya tahu sebagai pengkhianat bangsa. Kesan itu menyertai proses pembelajaran saya hingga duduk di bangku kuliah.
Saya baru paham bahwa Arung Palakka ternyata seorang sosok pejuang kemerdekaan yang membebaskan rakyat Tanah Bugis, khususnya Bone dan Soppeng, dari tekanan kerja paksa di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa.
Naskah drama Fahmi Syariff berjudul "Arung Palakka" yang telah berulangkali dipentaskan, baik di Makassar maupun Bone dan Bulukumba (1990-an) membuat saya paham tentang siapa sesungguhnya sosok kontroversial yang telah menjadi wacana historis pada paruh kedua abad XVII di Pulau Celebes (baca: Sulawesi) tersebut.
Memahami alur kisah di dalam karya sastra, termasuk drama dan novel, kita dituntut bersikap arif. Drama atau novel sejarah, hakikatnya, bukanlah sejarah melainkan cerita fiksi yang tergali dari realitas peristiwa kesejarahan di masa silam.
Karena itu, ketika kita mendiskusikan novel sejarah "Sang Pembebas", karya Halilintar Lathief ini, maka dimensi bahasannya adalah ideologi, gagasan atau sudut pandang pengarang (novelis) terhadap subjek tokoh yang diceritakan.
2. Arung Palakka dalam Bingkai Novel Sejarah
"Sang Pembebas" adalah karya sastra yang mengungkap kembali wacana kesejarahan tokoh "kontroversial" Arung Palakka di mata masyarakat Sulawesi Selatan.
Novel yang diterbitkan Padat Daya, 2024, ini berkisah panjang lebar mengenai perseteruan dua suku besar yang memiliki persamaan karakter budaya dalam perspektif harga diri kemanusiaan yang bernama siriq na pacce (Mks) atau siriq na pesse (Bgs).
Novel setebal 270 halaman tersebut menempatkan Arung Palakka sebagai figur sentral yang menghabiskan hidupnya dalam ideologi dan perjuangan fisik untuk memerdekakan tanah tempat kelahirannya dari penguasaan suku Makassar.
Arung Palakka menjadi Raja Bone XIV menggantikan La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh, setelah Bone "dicabut' hak kerajaannya selama 18 tahun atas kekalahannya dalam perang melawan Kerajaan Gowa (1626).
3. Ultimatum Raja Gowa XV
La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh, Raja Bone XIII, yang menggantikan saudaranya To Akkepeang Sultan Abdullah, Raja Bone XII, meneruskan perjuangan ayahnya untuk menerapkan aturan agama di wilayah Kerajaan Bone. Ia membuat kebijakan yang tidak populis di kalangan para bangsawan Bugis dan Makassar. Tiga kebijakan yang dibuatnya yaitu: seluruh rakyat Bone tidak boleh meminum minuman keras. Tidak boleh berjudi.
Selain itu, sistem perbudakan harus dihapus karena bertentangan dengan syariat Islam.
Kebijakan terakhir ini ditentang oleh Adeq Pitue (Dewan Adat Bone) dan para bangsawan, termasuk ibu La Maddaremmeng sendiri, We Tenri Soloreng Datu Pattiro.
Demi prinsip persamaan drajat kemanusiaan, atas nama agama, La Maddaremmeng rela menentang kemauan ibunya. Karena tetap bersikeras atas keputusannya, Ibunya- Datu Pattiro, mengadukan hal tersebut kepada Raja Gowa XV, Imanuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid.
Sesuatu yang ironis terjadi. Kerajaan Gowa yang sebelumnya terikat persahabatan dengan Bone di atas perjanjian adat "Sitettongenna Sudanga-La teariduni" (dilambangkan dua senjata pusaka milik Gowa dan Bone yang diletakkan berdampingan), tiba-tiba berbalik mengancam Kerajaan Bone.
Melalui ultimatum yang dikirim ke La Maddaremmeng, Raja Gowa meminta agar kebijakan penghapusan sistem perbudakan tidak diberlakukan. Ultimatum tersebut ditolak. Akibatnya, Gowa menyerang Bone dan berhasil menawan La Maddaremmeng beserta beberapa pengikutnya.
4. Berawal dari Konflik Batin
Perjuangan La Maddaremmeng menegakkan syiar Islam di wilayah Bone diteruskan oleh adiknya, La Tenriaji To Senrima.
Namun, karena tidak didukung oleh Dewan Adat, lagi pula kekuatan prajurit Gowa yang sangat kuat, ia pun ditangkap dan dibawa ke Gowa bersama prajuritnya. Sejak itulah, rakyat Bone menjadi jajahan Kerajaan Gowa selama 18 tahun.
Di antara tawanan yang ikut dalam rombongan La Tenriaji, terdapat seorang bocah laki-laki berusia 8 tahun.
Dia adalah La Tenritatta yang, oleh keluarganya, disapa dengan panggilan To Unru. Di bawah bimbingan ibunya yang bernama We Tenrisui Datu Marioriwawo, La Tenritatta Daeng Serang tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, tangkas dan berwibawa. Kehidupan di lingkungan istana Kerajaan Gowa dan Tallo, di bawah didikan Karaeng Pattingalloang, membentuk pribadinya menjadi sosok yang siap menghadapi tantangan besar di masa depan.
Sulit diprediksi, bila pemuda gagah yang di kemudian hari memiliki nama lengkap: La Tenritatta To Unru Daeng Serang Petta To Risompae Malampe'e Gemme'na Arung Palakka Paduka Sultan Sa'aduddin; berbalik melawan Kerajaan Gowa.
Sejak usia 8 tahun hingga masa pemuda, La Tenritatta menyaksikan sikap dan perlakuan prajurit Gowa terhadap para tawanan.
Sebanyak 10.000 rakyat Bugis dikerahkan bekerja paksa untuk menggali parit dan membuat benteng pertahanan dari serangan Belanda. Para tawanan diperlakukan seperti budak oleh mandor-mandor bengis di depan mata La Tenritatta yang saat itu menjadi Pengawal Karaeng Karunrung, Mangkubumi Kerajaan Gowa, menggantikan ayahnya, I Mangadacinna Karaeng Pattingalloang.
Konflik batin terus berlanjut ketika La Tenritatta mengetahui ayahnya, La Pottobunne Datu Lampulle Arung Tana Tengnga, dibunuh secara kejam di depan Raja Gowa XVI, I Mallombassi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin.
Puncak konflik batin tersebut mengantarnya ke satu keputusan yang harus dilakukan, yakni: melarikan diri bersama ribuan pekerja paksa dari Bone dan Soppeng. La Tenritatta meninggalkan Gowa dengan segala pertimbangan resiko yang pasti akan dihadapinya.
(BERSAMBUNG)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.