Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Andi Yahyatullah Muzakkir

Wawancara dengan Mulyono, Ada Apa?

Sungguh keseniaan adalah ekspresi murni kemanusiaan. Kebebasan ekspresi dikekang, kesenian juga dikangkangi rezim?

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Andi Yahyatullah Muzakkir, Founder Anak Makassar Voice. Andi Yahyatullah Muzakkir penulis opini Tribun Timur. 

Oleh: Andi Yahyatullah Muzakkir

Founder Sekolah Kota dan Anak Makassar Voice

TRIBUN-TIMUR.COM - Apakah Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) juga bagian antek-antek dari Mulyono?

Sungguh keseniaan adalah ekspresi murni kemanusiaan. Kebebasan ekspresi dikekang, kesenian juga dikangkangi rezim?

Baru-baru ini santer dibicarakan pagelaran teater bertajuk “Wawancara Dengan Mulyono”.

Ini adalah fenomena menarik sebab pengekakangan kebebasan berekspresi ini terjadi pada bidang kesenian pun juga adalah Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, yang notabenenya adalah kampus kesenian.

Pementasan teater ini diselenggarakan oleh Teater Payung Hitam, dikatakan bahwa akan digelar pada kampus ISBI Bandung, pada tanggal 15 Februari 2025 malam, hal tersebut batal terlaksana setelah lokasi acara tiba-tiba digembok oleh pihak kampus.

Sutradara pementasan oleh Rachman Subur mengatakan “saat akan mempersiapkan penyelanggaraan teater, pintu lokasi acara tiba-tiba digembok.’ 

Sangat disayangkan sebab ini terjadi pada institusi pendidikan pada bidang kesenian. Hal mana kita tahu bahwa kesenian sendiri adalah wujud ekspresi manusia, kekayaan manusia, cerminan jiwa kemanusiaan.

Tentu ini mewakili suatu persitiwa, keresahan, atau fenomena sosial yang terjadi di lingkungan kita. Pada dasarnya karya seni dan kesenian adalah suara jujur kemanusiaan. Kita mesti berpatokan pada fondasi pemikiran ini.

Kita tentu tahu, teater bertajuk “Wawancara Dengan Mulyono” ini memiliki persiapan yang panjang. Proses naskah hingga pada latihan-latihan.

Selain mengalami proses kesia-siaan sebab tak ada pementasan teater. Pemberhentian yang dilakukan secara paksa ini pun dengan  cara penggembokan lokasi pementasan teater adalah upaya mengekang kebebasan berekspresi.

Dan melunturkan esensi kesenian itu sendiri sebagai bentuk ekspresi kebebasan dan menjadi semangat pembebasan.

Hal ini pernah terjadi pada masa orde baru. Tatkala para seniman dan budayawan yang menyuarakan haknya melalui penciptaan karya terkait dengan fenomena sosial kala itu juga mendapat perlakuan yang sama, namun kekangan tersebut dilakukan oleh rezim.

Kita tentu mengingat nama “Wiji Tukul” yang hilang entah kemana sebab karya-karya yang dihasilkan menyuarakan keresahan rakyat serta mengkritik rezim.

Aliran ini tentu bisa kita namai sebagai “realisme sosial.” Di mana suatu karya cipta berorientasi pada ekspresi fenomena sosial yang didalamnya memuat ketakadilan, kesewenang-wenangan, penindasan, perampasan hak-hak dan menyuarakan kebenaran.

Pelarangan pementasan teater bertajuk “Wawancara Dengan Mulyono” sebagai tanda bahwa hari ini para elite mencoba menggunakan gaya orde baru atau bisa kita katakan pemberangusan oposisi, termasuk dengan mengekang karya cipta para seniman, melalui antek-antek kampus.

Dikatakan pembelaan oleh Rektor Institut Seni Budaya Bandung “bahwa pelarangan pementasan ini tidak lain sebab penciptaan karya harus dijauhkan dari unsur politik.”

Tentu ini sangat kontras sebab kita pahami bahwa kesenian sendiri adalah ekspresi kebebasan, keresahan kemanusiaan pada umumnya.

Secara tidak langsung ini mengukuhkan bahwa Institut Seni Budaya Bandung sedang tidak independen dalam penyelelenggaraan akademik dan pendidikan, melainkan berada dibawah kekangan dan bayang-bayang rezim Mulyono.

Tentu, hal ini harus kita tolak sekaligus mengecam tindakan ini secara keras. Jangan sampai ini menjadi semacam salah satu penghambat kesenian dan cipta karya seni kita pada masa mendatang. Sebab, ada suasana rasa takut, suasana kekangan yang coba diciptakan.

“Wawancara Dengan Mulyono” memang erat kaitannya dengan Jokowi, kita tahu bersama bahwa nama ini sendiri adalah nama kecil Jokowi.

Tapi, sepanjang pemerintahan Jokowi juga banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang notabenenya merugikan rakyat. 

Seperti misalnya perizinan “kasus pagar laut” yang terjadi di eranya. Ini juga menandakan bahwa kebijakan Jokowi sendiri banyak menguntungkan oligarki dan tidak memihak pada rakyat.

Alhasil banyak komunitas, kelompok dan organisasi yang resah, di ekspresikan dalam bentuk demonstrasi dan penciptaan karya.

Saya pikir, teater bertajuk “Wawancara Dengan Mulyono” ini adalah naskah teater yang harus kita kawal agar tetap berjalan. Keresahan, kritikan, ketakpuasan pada rezim harus disuarakan. Ini juga wujud kecintaan pada bangsa dan tanah air Indonesia.

Apakah Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung juga bagian antek-antek dari Mulyono?

Itu hal lain, namun kebebasan berekspresi, penciptaan karya seni harus terus dikawal, agar tak terjadi lagi pelarangan-pelarangan seperti ini.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Firasat Demokrasi

 

Rusuh

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved