Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Muhammad Idris

Gagap Komunikasi di 100 Hari Pertama Kabinet Merah Putih

Alih-alih menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, pernyataan mereka justru kerap dianggap tidak empati.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Gagap Komunikasi di 100 Hari Pertama Kabinet Merah Putih
Muhammad Idris
OPINI - Muhammad Idris Dosen Ilmu Komunikasi FSIKP UMI / Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Sulsel. Muhammad Idris merupakan penulis Opini Tribun Timur.

Gaya komunikasi Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka juga menjadi sorotan publik.

Saat berpidato diacara Fatayat NU, Gibran menjadi sorotan ketika menggunakan kata “para-para” saat menyapa hadirin.

Menurut KBBI, kata ‘para-para’ dinilai tidak tepat. Sorotan publik kembali terjadi saat Ia membuka kanal pengaduan
‘Lapor Mas Wapres’ yang dianggap tidak substansial, karena sudah ada aplikasi SP4N LAPOR diera Presiden Joko Widodo.

Presiden Prabowo sendiri sudah beberapakali memunculkan kontroversi karena komentarnya. Dimulai soal wacana pengampunan koruptor, kemudian membuat pernyataan mendukung ekspansi kelapa sawit yang justru memicu deforestasi.

Sontak mendapat kritikan dari aktivis lingkungan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar, mengapa hal ini terjadi?

Padahal, sebagai representasi negara, kemampuan komunikasi publik seharusnya menjadi kompetensi utama yang wajib dimiliki setiap pejabat negara.

Komunikasi Publik, Bukan Sekadar Bicara

Komunikasi publik bukanlah sekadar kemampuan berbicara di depan umum atau menyampaikan pesan secara verbal.

Lebih dari itu, komunikasi publik adalah seni membangun hubungan, menciptakan pemahaman dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat.

Seorang pejabat negara dalam kapasitasnya sebagai pemimpin, harus mampu menyampaikan pesan dengan jelas, empati, solutif dan relevan dengan konteks sosial yang dihadapi masyarakat.

Beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa banyak pejabat negara minim kemampuan komunikasi publik.

Pertama, kurangnya pelatihan dan pembekalan sebelum pelantikan. Ini karena pejabat negara dipilih atas kepentingan politik, bukan berdasarkan kemampuan komunikasi.

Akibatnya, mereka seringkali gagap komunikasi saat berhadapan wartawan ataupun publik.

Kedua, kultur birokrasi yang hirarkis dan kaku. Dalam lingkungan birokrasi, yang diutamakan adalah kepatuhan dan formalitas, bukan kemampuan berkomunikasi secara terbuka dan empatik.

Ini membuat pejabat negara terbiasa dengan gaya komunikasi satu arah, instruktif dan tidak memperhatikan feedback dari masyarakat.

Halaman
123
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved