Hasrat dan Pemenuhan Akan yang Tak Pernah Ada
seorang teman menceritakan pergumulannya yang mendalam: dihantui oleh prasangka buruk terhadap serangkaian keputusan yang diambilnya selama kurun
Oleh Irfan Palippui
Pengajar dan Pegiat Seni-Budaya
DI PENGHUJUNG tahun 2024, seorang teman menceritakan pergumulannya yang mendalam: dihantui oleh prasangka buruk terhadap serangkaian keputusan yang diambilnya selama kurun waktu tahun ini. Dakunya, ia terperangkap dalam labirin hasratnya sendiri dan menemukan dirinya dalam sebuah perjalanan hidup yang seolah tidak memiliki ujung.
Segalanya bermula ketika ia memutuskan menarik diri dari berbagai aspek kehidupan sosial, khususnya hal-hal di luar lingkup pekerjaan - termasuk menjauhkan diri dari kerabat dekat dan sahabat lama. Dengan obsesi pencapaian tertentu, ia menghabiskan hampir setahun, yang ironisnya justru mengakibatkan terputusnya beberapa ikatan dan hubungan bermakna dalam hidupnya.
Dalam konteks pergumulan tersebut, kutipan "Life is a journey, not a destination" yang sering dikaitkan dengan Ralph Waldo Emerson tampaknya menemukan relevansi yang mendalam. Perjalanan eksistensial teman ini seakan-akan menjadi ilustrasi hidup dari pemikiran sang filsuf Amerika - di mana proses dan pengalaman jauh lebih bermakna daripada sekadar pencapaian akhir. Emerson, yang menekankan kekuatan individu, kemandirian, dan kepercayaan diri, mungkin akan melihat perjalanan tersebut sebagai momen transformatif. Sebuah proses di mana seseorang mencoba memahami dirinya sendiri di tengah ketegangan antara hasrat pencapaian dan makna hubungan sosial.
Saya merenungi apa yang disebut kebahagiaan, naga-naganya memang tidak terletak pada tujuan. Proses perjalanan itu sendirilah guru terbaik dalam memahami konsepnya. Sebagaimana dikatakan Aristoteles dalam Nicomachean Ethics (2014), kebahagiaan hanya dapat diraih melalui proses embodied (perwujudan) manusia saat menyelami kehidupan sehari-hari dan memberi kualitas kebaikan kepada orang lain. Hanya saja, rutinitas sehari-hari kita kebanyakan lebih mirip kompetisi lari yang terus dicambuk dari belakang, dengan obsesi menjadi pemenang untuk mencapai garis finish sebagai satu-satunya tujuan.
Setiap pergantian tahun, kita dapat mengamati banyaknya daftar resolusi tahun baru yang muncul sebagai manifestasi hasrat menuju tujuan tertentu. Keinginan-keinginan seperti menurunkan berat badan, membeli mobil baru, atau menemukan pasangan hidup yang tepat, sejatinya hanyalah ilusi kepuasan dari dorongan hasrat kita.
Dalam Letters and Sayings of Epicurus (2012), Epicurus mengingatkan agar kita tidak terjerembab dalam kehampaan baru, sebab banyak kesenangan hanya bersifat sementara. Ketika kesenangan itu dijadikan tujuan, maka hanya menunggu sekian saat saja titik balik terhadap ketidakpuasan menjalar menjadi rasa sakit bagi tubuh dan pikiran.
Saat ini sebagian besar waktu keseharian kita habis di depan layar smartphone. Dari durasi tersebut, banyak waktu kita gunakan untuk mengamati stories pengguna media sosial, baik milik teman maupun akun-akun yang kita ikuti. Dalam penelusuran tersebut, saya sering merasa skeptis melihat “pameran kebahagiaan” dari aktivitas sehari-hari yang ditampilkan orang-orang di sekitar kita. Timbul pertanyaan, apakah ini benar-benar manifestasi kebahagiaan atau hanya simulakra dari realitas semu keseharian?
Paradoksnya, perhatikan bagaimana pameran kebahagiaan di media sosial bekerja: stories atau kisah-kisah terbagikan itu dapat menghilang dalam 24 jam, status berganti dalam hitungan jam. Bahkan kita bisa melihat seseorang baru saja mengucapkan belasungkawa atas kematian sahabat, namun di stories berikutnya sudah menampilkan tawa lepas menikmati makanan di restoran bersama sahabat lainnya. Media sosial yang menyita begitu banyak waktu itu, rupanya hanyalah perayaan realitas palsu akan kebahagiaan.
Dalam bukunya Introduction to the Reading of Lacan: The Unconscious Structured like a Language, Joel Dor (2013) mengutip Lacan yang mengatakan bahwa hasrat tak terelakkan selalu terlahir kembali dalam bentuk yang sama, berakar pada kekurangan fundamental dari das Ding (The Thing) - sesuatu yang kita bayangkan pernah ada namun sebenarnya tidak pernah ada.
Kekosongan tersebut sekaligus menjadi penyebab dan tujuan dari hasrat itu sendiri. Kekosongan menandai ruang yang dapat diisi oleh objek apa pun, namun objek-objek tersebut hanyalah pengganti sementara dari sesuatu yang hilang. Pendek kata, pandangan Lacan hendak menunjukkan bahwa justru karena lack (kekurangan) kita terus mengejar pemenuhan kepuasan, namun pada saat yang sama kita mengabaikan fakta bahwa pemenuhan yang sempurna adalah sesuatu yang mustahil.
Di sinilah hasrat beroperasi sebagai kekuatan dinamis yang mendorong kita mencari objek-objek pemenuhan. Namun, kehadiran objek-objek tersebut hanya bersifat substitusi dan mustahil menggantikan pemenuhan yang berakar dari ketiadaan. Kehampaan itu seperti ruang kosong yang bisa diisi oleh apa saja, tetapi apapun yang kita gunakan untuk mengisinya hanyalah pengganti sementara dari sesuatu yang tidak akan pernah kita temukan.
Sebagaimana kawan saya di atas, sebagian dari kita juga larut dalam pengejaran hasrat akan sesuatu yang mustahil tercapai. Saya merasakan bahwa hanya dengan menjalani proses, tanpa terjebak mengejar tujuan ilusif, kita dapat memperkaya kualitas hidup.
Apa yang kita tampilkan dalam dimensi virtual saat ini sebenarnya hanya mempertebal upaya kita menghindar dari pengakuan ketidakmampuan menghadapi persoalan yang sesungguhnya. Realitas fundamental kita adalah keterhubungan langsung dengan orang lain. Kita adalah subjek yang pada dasarnya “mengada” dan “menjadi” karena kehadiran dan interaksi langsung dengan orang-orang di sekitar. Kebahagiaan, dengan demikian, memang semestinya berasal dari relasi dengan orang lain.
Setidaknya, cerita kawan saya di muka mengajarkan bahwa semakin dikejar, kebahagiaan justru semakin menjauh; semakin dikejar kepastian, semakin nyata ketidakpastian; dan kian didamba kesempurnaan, semakin jelas ketidaksempurnaan.
Kita seharusnya berani berdamai dengan paradoks kehidupan. Hal ini tidak berarti kita harus berhenti berhasrat, melainkan mulai menikmati proses hidup sebagai perjalanan itu sendiri. Hasrat perlu ditempatkan sebagai peta jalan yang menunjukkan arah, namun bukan sebagai dermaga tempat kita bermaksud berlabuh secara permanen. Sebagaimana nasehat Nietzsche, kita harus berani mengatakan "Ya" pada kehidupan; berani berlayar menghadapi badai dan gulungan ombak dalam setiap pelayaran sambil memegang kemudi yang enggan menyerah.
Setiap pergantian tahun memberi kita berbulan-bulan proses dan pengalaman produktif. Kita harus selamanya siap menghadapi oposisi atau ketegangan yang melekat dalam hidup - antara angin sepoi dan topan; antara bergerak dan berhenti; antara hasrat dan kepuasan.
Mungkin yang kita butuhkan bukanlah sekadar resolusi tahunan yang berulang, melainkan keberanian memeluk ketidaksempurnaan dari proses perjalanan setahun berlalu. Sebab dalam setiap langkah yang kita tempuh, dalam setiap hubungan yang kita jalin, dan bahkan dalam setiap kegagalan yang kita hadapi, tersimpan kebijaksanaan yang justru membuat kita lebih manusiawi. Dan barangkali, di situlah letaknya kenikmatan hidup yang sedang kita jalani ini.
Gowa, 20/12/2024
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/Oleh-Irfan-Palippui-Pengajar-dan-Pegiat-Seni-Budaya-43554.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.