Opini Mubha Kahar Muang
Pilpres 2024 dan Tantangan RI
Wiranto membuat Partai Hanura 2006, Prabowo Subianto dirikan Partai Gerindra 2008, Surya Paloh dirikan Nasdem 2011, MSP lanjutkan PDI jadi PDIP 1999
Oleh: Mubha Kahar Muang.
Anggota FKP DPR RI 1987-1992-1997-1998
TRIBUN-TIMUR.COM - Tantangan utama negeri ini disamping keharusan melaksanakan penataan ulang pengelolaan negara yang berdasar kepada UUD 1945, adalah bagaimana menjaga keutuhan anak bangsa, kedaulatan NKRI dan bagaimana agar kekayaan Sumber Daya Alam kita dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanat UUD 1945.
Bagaimana mewujudkannya saat ini bukan hal yang mudah.
Mengapa?
Karena UUD 1945 diubah tanpa meminta pendapat rakyat, tetapi dengan mencabut Tap MPR RI No IV Tahun 1983 Tentang Referendum, yang merupakan aturan yang dimaksudkan untuk lebih meningkatkan kehati-hatian untuk menghindari kekeliruan dalam mengubah UUD 1945 yang dapat berakibat mengubah negeri yang di proklamirkan 17 Agustus 1945.
Bandingkan misalnya dengan Amerika Serikat negeri yang terdepan dalam mendorong penerapan berdemokrasi di berbagai negara, untuk mengubah satu ayat saja dari konstitusinya prosesnya bisa memakan waktu dua tahun. Australia untuk mengubah satu ayat perlu referendum.
Untuk itu kita harus mengembalikan UUD 1945, karena amandemen konstitusi menurut Prof Kaelan lazimnya dilakukan perubahan atau penambahan satu pasal atau beberapa pasal.
Sementara amandemen UUD 1945 tahun 2002 pasal yang diubah atau diganti hampir 90 persen, berarti bukan amandemen tetapi mengganti UUD 1945 menjadi UU 2002.
Sebelum UUD 1945 diubah, Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 berbunyi Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Setelah perubahan, ayat tersebut berbunyi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan telah diganti dengan kalimat Undang-Undang Dasar tetapi pelaksanaannya diganti dengan Undang-Undang.
Perubahan UUD 1945 mengganti konsep bernegara kita yaitu negara berkedaulatan rakyat tetapi tidak lagi berdasar Pancasila.
Mengubah peran Perwakilan Rakyat melalui MPR RI, dengan membuat pemilu langsung, dengan alasan demokrasi.
Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang dan Pembangunan Jangka Menengah tidak lagi dibahas oleh Perwakilan Rakyat.
Bagaimana mungkin cita-cita negara bangsa bisa terwujud kalau visi misi negara diganti dengan visi misi presiden ?
Menghilangkan Prinsip Kedaulatan Rakyat yang dijalankan oleh MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
Menghilangkan Prinsip Musyawarah Mufakat diganti dengan siapa yang mendapat suara terbanyak, siapa yang menang dan kalah.
Pemilu Langsung, artinya 200 jutaan penduduk diberi hak memilih yang sama. Seorang profesor atau doktor memiliki hak yang sama dengan petani penggarap di lereng gunung dan nelayan yang ada di pulau terpencil untuk memilih pemimpin.
Sementara kesadaran sebagian masyarakat akan keterkaitan siapa yang dipilih dalam pemilu dengan pengelolaan negara dan masa depan negara belum sepenuhnya terbangun, sehingga sebagian rakyat Indonesia mencoblos ketika pemilu bukan karena pemahaman untuk menggunakan haknya sebagai warga negara.
Menjadi pemimpin untuk mengambil alih pengelolaan kekuasaan menurut aturan per-Undang Undangan yang dibuat sejak 2003,
tidak sederhana.
Calon pemimpin harus diusung oleh partai yang memiliki kursi di dewan minimal 20 % atau presidential threshold.
Berarti harus membuat koalisi partai.
Setelah reformasi SBY mendirikan Partai Demokrat 2001.
Wiranto membuat Partai Hanura 2006, Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra 2008, Surya Paloh mendirikan Partai Nasdem 2011, Megawati Soekarnoputri (MSP) melanjutkan PDI menjadi PDIP 1999.
Dalam praktik UU 2002, selama dua periode Jokowi sebagai presiden, PDIP sebagai partai pengusung utama sekaligus memimpin koalisi dan berperan sebagai bouheer atau bohir.
Jokowi walau presiden, tetapi bukan berasal dari darah biru partai karena itu mungkin dianggap sebagai pekerja partai.
Anggapan tersebut sebenarnya bertentangan dengan semangat sumpah presiden ketika pelantikan "yang akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden RI dengan sebaik- baiknya dan seadil-adilnya , , , dan berbakti kepada nusa dan bangsa".
Semua ini adalah konsekuensi dari penggunaan presidential threshold dalam pencalonan presiden, sehingga calon presiden harus ada partai pengusung dan jika bukan tokoh partai, partai pengusung utama yang menjadi pemimpin koalisi yang pada akhirnya menjadi bohir atau oligarki.
Prabowo menghadapi pilpres 2024, merujuk pengalaman pilpres 2019 dimana Prabowo berhadapan dengan Jokowi yang didukung oleh koalisi yang cukup besar, hasilnya kalah tipis kalau bukan menang?
Karena itu pilpres 2024 Prabowo optimis menang yang penting jangan dicurangi.
Untuk berbuat curang, sekalipun Prabowo didukung oleh Jokowi tidak mudah selain karena itu mencederai prinsip Prabowo dalam mencapai tujuan, disamping itu yang menjadi motor pemenangan pilpres 2014 dan 2019 adalah PDIP dan Nasdem.
Berpengalaman memenangkan pilpres dan kali ini sama-sama mengusung paslon sehingga tentu sangat paham jika ada yang melakukan kecurangan.
Kekuatan utama Prabowo dalam pilpres 2024 adalah modal sosial politik yang dimiliki yang jauh melampaui kedua paslon yang ada.
Hal ini terlihat dari survey yang ada sebelum adanya pasangan cawapres, Oktober 2023 dimana posisinya sudah berada di kisaran angka 45,7 % -51,2 % .
Kemudian di perkuat lagi dengan koalisi partai yang mencapai 45, 39 % artinya kedua paslon tinggal berbagi sisanya yaitu 44, 61 % .
Sehingga kemudian menang 58, 58?alah wajar.
Menang dalam pilpres 2024 oleh Prabowo adalah perjuangan panjang dan tentunya sangat mahal.
Dimulai dengan membuat partai dan merawat partai yang memiliki pengurus disetiap wilayah yang memerlukan sumber daya yang sangat besar.
Berhadapan dengan pemilu langsung yang mendorong sebagian masyarakat untuk menjadikan sebagai ajang menerima bonus lima tahunan.
Masalah yang dihadapi kedepan adalah tidak semua tokoh yang memiliki semangat juang untuk membangun negeri dan memiliki ketokohan yang mumpuni sekaligus memiliki sumber daya yang memadai untuk membangun dan merawat partai, kemudian maju sebagai calon pemimpin dengan model pemilu langsung yang diwarnai dengan praktik uang sehingga memerlukan sumber daya yang sangat besar.
Karena itu jika model pemilihan ini dipertahankan Indonesia kedepan semakin sulit mendapatkan tokoh yang mampu memenuhi semua proses tersebut tanpa keikut sertaan pemodal yang berpotensi menjadi oligarki dan praktik KKN.
Terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden RI ke 8 sejatinya tidak membuat nyaman AS dan China dan membuat gerah jaringan yang terbangun di dalam negeri yang menjadi pelopor perubahan UUD 1945.
Mengapa?
Karena dalam Anggaran Dasar partai Gerindra yang dibangun oleh Prabowo 2008, tercantum di pasal 10 ayat 1 salah satu misinya adalah kembali ke UUD 1945 yang asli.
Pokok- pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 adalah Pancasila yang merupakan Norma atau Dasar negara.
Rumusan Pancasila yang menjadi kesepakatan pendiri negeri ini termuat di dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945.
Sementara perubahan UUD 1945 menjadi UU 2002 adalah upaya sistematis dari pihak global dan jaringan yang terbangun di dalam negeri untuk mengubah negeri yang dibangun dengan landasan Pancasila.
Memilih pemimpin dengan cara pemilu langsung satu orang satu suara jelas sudah bertentangan dengan sila keempat Pancasila yaitu Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Kemudian,
Menentukan Arah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah tanpa melibatkan rakyat melalui wakilnya di MPR RI yang terdiri dari Anggota DPR RI, Utusan Daerah dan Utusan Golongan, menunjukkan bahwa negeri ini dikelola tidak lagi berdasar kepada Pancasila.
Untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik, segenap komponen masyarakat harus memahami tantangan yang dihadapi oleh bangsa dan negara dan pondasinya yaitu komitmen konstitusi UUD 1945.
(2024)*
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.