Opini
Maskulinitas Beracun dalam Tren Laki-laki Tidak Bercerita
Fenomema tersebut mengisyaratkan bahwa laki-laki pantang untuk menceritakan masalahnya atau mencurahkan perasaannya kepada orang lain.
Oleh: Bahrul Ikhsan
Alumni Prodi Studi Agama-Agama UIN Alauddin Makassar tahun 2023
TRIBUN-TIMUR.COM - BELAKANGAN ini tren, “Laki-laki tidak bercerita” sedang populer di kalangan masyarakat.
Fenomema tersebut mengisyaratkan bahwa laki-laki pantang untuk menceritakan masalahnya atau mencurahkan perasaannya kepada orang lain.
Laki-laki yang curhat, mengeluh dan menampakkan emosi seperti menangis dianggap bukan lelaki sejati atau tidak maskulin karena identik dengan kelemahan layaknya perempuan.
Banyak nilai-nilai maskulinitas yang diadopsi dan dianggap wajar oleh masyarakat, padahal beberapa di antaranya sangat beracun dan merugikan, baik kepada laki-laki maupun perempuan.
Maskulinitas beracun (toxic masculinity) adalah suatu standar maskulin berlebihan yang dibentuk masyarakat perihal laki-laki sejati, mengenai apa yang pantas dan tak pantas dilakukan oleh laki-laki agar disebut jantan.
Dalam buku, “The Guy’s Guide to Feminism” karya Michael Kaufman, maskulinitas dikaitkan dengan legitimasi, otoritas dan kepemimpinan. Jika ada laki-laki yang tidak memenuhi kriteria tersebut, maka bersiaplah menerima cibiran masyarakat.
Maskulinitas beracun merupakan produk patriarki. Ekspektasi kaku masyarakat yang memaksa bocah lelaki dan laki-laki dewasa untuk tidak menolerir dan tidak menampakkan kelemahan walau secuil.
Maskulinitas tak sehat ini dikonstruksi dengan kokoh dari generasi ke generasi melalui sosialisasi, diperkuat oleh media sosial, didikan keluarga, pergaulan dan pengaruh lainnya.
Masyarakat akhirnya menganggap nilai tersebut sebagai sesuatu yang final dan menetapkannya menjadi kodrat seorang lelaki.
Kondisi Laki-laki yang Tidak Bercerita
Jika berdasar pada pembagian peranan gender dalam masyarakat, maka laki-laki bertugas sebagai pencari nafkah, harapan keluarga, pelindung, pengayom dan seterusnya.
Dalam menjalankan perannya, laki-laki dituntut untuk tegar setiap saat, tahan banting menghadapi gempuran hidup yang datang silih berganti.
Ia tidak boleh menangis atau menceritakan keluhannya mengenai ekspektasi masyarakat yang dibebankan pada pundaknya.
Laki-laki yang mencurahkan emosinya akan dianggap cengeng, lemah, bukan laki-laki sejati.
Nilai-nilai ini bahkan telah ditanamkan pada diri laki-laki sejak kecil.
Ketika orangtua melihat anak laki-lakinya menangis akibat terjatuh dari sepeda misalnya, mereka langsung mengucapkan mantra jitu agar bocah lanangnya diam, “Sudah jangan cengeng, laki-laki kok nangis!”.
Laki-laki yang tidak bisa memenuhi standar maskulinitas yang ditetapkan masyarakat akan merasa gagal sebagai laki-laki.
Karena menafkahi keluarga adalah identitas laki-laki, maka mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap atau tak mapan secara finansial menganggap dirinya sebagai orang yang hina.
Laki-laki dalam keadaan seperti ini akan menarik diri dari komunitas atau bahkan dikucilkan dari pergaulan.
Mulut mereka menjadi bungkam, sementara alam pikirannya berisik mencari-cari solusi sendiri.
Tak dianjurkannnya laki-laki untuk menceritakan masalah yang dialami kepada orang lain bisa menyebabkan kerentanan pada depresi.
Seiring berjalannya waktu, mental laki-laki akan tergerus dan akhirnya memunculkan trauma berkepanjangan.
Berhubungan dengan masalah tersebut, Matthew Genuchi, Profesor Ilmu Psikologi di Boise State University mengemukakan bahwa laki-laki yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri empat kali lebih banyak dibandingkan perempuan.
Pada tahun 2012, penelitian serupa dilakukan oleh The Samaritans, suatu lembaga amal di Inggris bagi mereka yang mengalami tekanan mental yang mengungkap fakta bahwa kasus bunuh diri paling sering terjadi pada laki-laki paruh baya.
Dari penelitian itu juga diketahui bahwa laki-laki yang kurang dalam segi ekonomi berpotensi sepuluh kali lebih besar mengakhiri hidupnya.
Insiden malang itu dialami oleh seorang laki-laki di Jakarta Selatan pada tahun 2017 silam.
Beritanya sempat menghebohkan dunia maya, karena aksi gantung diri tersebut disiarkan langsung oleh pelaku di facebook.
Sebelum meregangkan nyawanya sendiri, laki-laki itu menumpahkan keresahan-keresahannya atas kondisi ekonominya yang memprihatinkan sehingga ia tak mampu lagi menghidupi istri dan anak-anaknya.
Dalam kasus lain, kebiasaan laki-laki dalam memendam emosi bisa menimbulkan perilaku destruktif melalui pelampiasan amarah tak terkontrol yang berujung pada kekerasan.
Nahasnya, karena laki-laki merasa tak berdaya melawan nilai-nilai kaku masyarakat mengenai maskulinitas yang membebaninya, mereka malah melampiaskan kebenciannya kepada obyek lain yang lebih lemah darinya yaitu perempuan dan anak-anak.
Laki-laki Tidak Bercerita dalam Konteks Kekerasan Seksual
Pada tahun 2020 International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menampilkan data jumlah korban kekerasan seksual dari kaum lelaki di Indonesia mencapai 33 persen.
Satu tahun sebelumnya, pada tahun 2019 pernah viral kasus pegawai laki-laki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diduga mengalami pelecehan seksual dan bullying dari rekan kerjanya.
Masih pada tahun yang sama seorang remaja lelaki berusia 16 tahun di Probolinggo mengaku dilecehkan oleh wanita berusia 28 tahun.
Jika kita berpatok pada kode maskulinitas, maka kita pasti menyangkal kasus-kasus di atas.
Alasan mengapa kekerasan seksual pada laki-laki tidak dianggap serius dikarenakan mengakarnya doktrin maskulinitas beracun di masyarakat.
Menurut pikiran umum masyarakat, pelecehan terhadap laki-laki dinilai sebagai hal yang mustahil terjadi, sebab laki-laki lebih kuat dari perempuan dan mampu melindungi diri.
Rasa malu dan enggan dihakimi oleh masyarakat dengan ledekan, “Kejantanan berkurang” atau, “Banci” ini pula yang sebenarnya membuat laki-laki lebih memilih tidak bercerita dan mengurungkan niat untuk melaporkan perkara mereka.
Maka dari itu, lembaga yang berwenang perlu menangani kasus-kasus kekerasan berbasis gender secara lebih seksama.
Masyarakat seyogyanya jangan mudah menghakimi, melainkan mulai membentuk lingkungan yang suportif dengan membudayakan maskulinitas dan feminitas yang positif.
Maskulinitas dan feminitas sebenarnya ada pada diri setiap manusia. Artinya, laki-laki dan perempuan telah dianugerahkan oleh Tuhan dengan sifat-sifat ini. Dengan demikian, laki-laki dalam dirinya juga memiliki aspek feminin.
Laki-laki bukan robot pekerja yang tak memiliki rasa. Hal itu menunjukkan bahwa kuat atau jantan bukan berarti harus memikirkan dan menghadapi semuanya seorang diri.
Sebaliknya, jalan keluar lebih mudah ditemui jika kita mencarinya bersama-sama.
Oleh karena itu, laki-laki harus belajar bercerita, membagikan perasaannya kepada orang yang ia bisa percaya. Wallahu a’lam bishawab.
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota |
![]() |
---|
Ketika Pusat Menguat, Daerah Melemah: Wajah Baru Efisiensi Fiskal |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.