Opini
Sebuah Refleksi Nilai Perempuan dalam Adat
Praktik patriarki dalam tradisi konservatif mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari yang membersamai saya.
Oleh: Zulfikarni Bakri
CRCS UGM
TRIBUN-TIMUR.COM - TULISAN ini berawal dari kegelisahan saya sebagai perempuan yang lahir dan besar di Kajang.
Praktik patriarki dalam tradisi konservatif mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari yang membersamai saya.
Sebagai contoh, suara perempuan kerap tidak didengarkan karena adanya pembagian tugas, dimana perempuan lebih
cenderung pada ruang domestik.
Selain itu, stereotipe memberikan standar sosial pada perempuan, yakni harus memiliki sifat sopan, ramah, rajin, religious, dan cantik.
Sifat-sifat tersebut baiknya melekat kepada perempuan sebagai “nilai” untuk menikah.
Bahkan beberapa keluarga saya memberikan judgment dimana perempuan tidak membutuhkan pendidikan tinggi karena menganggap bahwa perempuan pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga dan tunduk pada suami.
Hal ini kemudian dapat melanggengkan posisi perempuan sebagai kelas kedua atau subordinate.
Menjaga Siri Paradoks Kehormatan dan Kebebasan Perempuan Kajang
Pernikahan dini di kecamatan Kajang merupakan salah satu daerah tertinggi di kabupaten Bulukumba, selain Kindang dan Gantarang.
Budaya Siri’ di Sulawesi Selatan menggiring masyarakat menjunjung tinggi nama baik keluarga melaui pernikahan, termasuk Kajang.
Fenomena simbol harga diri keluarga ini pada umumnya dialamatkan kepada perempuan. Mereka ataupun saya dituntut untuk selalu menjaga kehormatan keluarga dimanapun kami berada.
Sehingga tidak mengherankan beberapa perempuan dengan usia muda, pada rentan usia 14-18 tahun, akan dinikahkan terlepas subjeknya setuju atau tidak.
Alasannya cukup mudah, agar menghindari hal-hal yang dapat mencoreng nama baik keluarga, seperti hamil diluar
nikah, silariang, atau perilaku yang melanggar norma dan hukum adat.
Konsekuensi perempuan yang melanggar hukum adat Kajang di atas memiliki tingkatan sesuai beratnya pelanggaran tersebut.
Pertama, hamil di luar nikah atau melakukan tindak asusila, uang panaik perempuan lebih sedikit. Kedua adalah silariang.
Pelanggaran adat ini akan mendapatkan hukum berupa pengusiran. Adapun negosiasi terhadap tindakan silariang melibatkan pihak keluarga dan pemangku adat.
Pelaku silariang akan melakukan ritual abbaji’ (memperbaiki) dengan syarat pihak perempuan menerima dan memaafkan tindakan tersebut, lalu dinikahkan.
Sebaliknya, jika pihak perempuan tidak menerima, maka pengusiran pun terjadi.
Merujuk isu di atas–standarisasi sifat perempuan, menjaga nama baik keluarga, dan hukum adat– klaim tersebut untuk memperkuat, menjaga, dan menghormati perempuan.
Apakah demikian adanya? Mengapa hanya perempuan yang membawa tanggung jawab tersebut?
Adanya beban moral yang diemban perempuan, kemudian membuat saya bertanya untuk kepentingan siapa pemenuhan
standar tersebut diberlakukan.
Secara konteks masih banyak perempuan yang belum mendapatkan kebebasan berekspresi dan menentukan masa depan mereka dengan alasan kehormatan keluarga dan gender.
Selain itu, standarisasi kemudian menjadi dilematik dan mendorong perempuan untuk memenuhi kategori-kategori sesuai yang digambarkan dalam kehidupan sosial.
Dampaknya, bagi perempuan yang belum memenuhi hal tersebut akan mendapatkan diskriminasi yang berlapis.
Melampaui Domestik
Membicarakan isu perempuan dalam masyarakat adat pada dasarnya sangat rumit dan kompleks. Biasanya konsep gender di adat sudah matang namun pengaruh eksternal kemudian mengubah perpektif kita.
Misalnya pembagian kerja dalam masyarakat adat Kajang berdasarkan gender. Laki-laki mengambil peran pada ruang
publik dan kerja yang membutuhkan tenaga fisik, seperti bertani.
Di sisi lain perempuan aktif pada ruang domestik. Kritik pada fenomena ini yakni pemisahan ruang kerja yang tersistematis dan terinstitusional sejak masa kolonial.
Butler (1990) menekankan norma-norma gender yang bersifat kaku ini mempertahankan struktur patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat.
Perempuan adat Kajang meyakini, menerima, dan melakukan pembagian
kerja berdasarkan gender seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Meskipun demikian, Perempuan adat Kajang juga menegosiasikan peran-peran mereka di berbagai aspek publik seperti; politik, ekonomi, dan sosial. Sehingga pembagian kerja berdasarkan gender dilihat saling tumpang tindih.
Identitas perempuan adat Kajang tidak pernah tunggal. Para perempuan tidak hanya mengurusi urusan domestik melainkan secara aktif ikut terlibat pada organisasi-organisasi advokasi, pengembangan SDM dengan tujuan kemajuan kelompok adat.
Dalam teori indigenous feminism (feminisme adat), Joyce Green (2007) mengungkapkan bahwa perempuan adat memiliki kebebasan untuk mendefenisikan diri mereka sendiri tanpa ada interfensi dari luar.
Maka dari itu, untuk mendobrak sistem patriarki yang kuat dan konstruksi sosial yang menyebabkan diskriminasi, perlu sikap desentralisasi peran-peran perempuan dari level paling bawah (kehidupan sehari-haru).
Peran-peran tersebut dibentuk, dikembangkan, dan dinegosiasikan. Sehingga dalam hal ini, perempuan memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri, serta kebebasan menyuarakan pendapat.(*)
| Hapus Roblox dari Gawai Anak: Seruan Kewaspadaan di Tengah Ancaman Dunia Virtual |
|
|---|
| Mendobrak Tembok Isolasi: Daeng Manye, Perjuangan Tanpa Henti untuk Setiap Jengkal Tanah Takalar |
|
|---|
| Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap |
|
|---|
| Membedah Proses Kreatif Menulis KH Masrur Makmur |
|
|---|
| Transformasi Unhas, Melawan Kebencian dan Irasional |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.