Opini
Ulama dan Penguasa
Serta, memiliki pengetahuan dasar terkait alam semesta sebagai ayat-ayat kauniyah yang mengantarkan orang makin dekat kepada Allah.
Katanya, Makhluk paling hebat tantangannya dalam menghadapi godaan fitnah ini adalah para ulama, mengingat motif pendorong untuk menyebarkan ilmu pada kebanyakan orang adalah kenyamanan berkuasa, senang diikuti banyak orang, suka dipuja-puji dan disanjung.
Kemudian setan memalsukan hal tersebut dalam pandangan mereka sambal menyatakan, ‘Tujuan kalian adalah menyebarkan agama Allah dan memperjuangkan syariat yang diajarkan oleh Rasulullah’, (Yusuf al-Qaradhawi, Fī ath-Tharīq ilā allāh an-Niyah wa al-Ikhlāsh at-Tawakkal, 2015: 60).
Namun Az-Zarnuji memberikan keringanan bagi ulama yang memiliki kompetensi dalam dunia kekuasaan, katanya, “Kecuali jika ia mengharapkan kekuasaan atau kedudukan untuk amar ma’ruf nahi munkar.
Memberikan hak pada yang berhak, untuk meluhurkan agama bukan untuk kepentingannya sendiri dan hawa nafsunya, maka hal itu diperbolehkan sebatas ia dapat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar”, (Imam Az-Zarnuji, Ta’līm Muta’allim fī Tharīq Ta’allum, 2022: 49).
Sejak masuknya Islam secara resmi di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, atau sekitar tahun 1603, ulama memiliki posisi istimewa dalam pemerintahan yang berbasis kerajaan kala itu.
Dalam susunan hirarki masyarakat Bugis, Gowa, dan Luwu terdapat tujuh tingkatan yakni: Anakarung atau raja dan keturunannya; Panrita atau para ulama; Toacca atau para intelektual; Towarani atau para ksatria pemberani; Tosugi atau para orang kaya; Tomaradeka atau orang merdeka, dan Ata atau hamba sahaya.
Penting dicatat bahwa para panrita atau ulama telah menggeser dan menggusur posisi dukun dan bissue yang berada dalam kawasan istana dan selama ini menjadi rujukan dalam berbagai ritual dan upacara adat yang dilakukan oleh istana kerajaan.
Misalnya, setiap malam Jumat, istana selalu mengadakan upacara mengusir roh-roh jahat dengan mendatangkan para dukun dan bissue untuk membaca dan melafal mantra-mantra, membakar kemenyang diselingi dengan berbagai atraksi lainnya.
Upacara ini para prinsipnya bukan mengusir roh jahat tapi malah mengundang jin dalam pandangan Islam.
Karena itulah, ketika Islam masuk dalam Istana, maka para panrita menjadi penasihat spiritual raja, kegiatan upacara mengusir roh jahat tetap berlangsung dengan cara dan metode berbeda, yakni dengan membaca al-Qur’an khususnya surah Yasin dan membaca sejarah Nabi melalui kitab Barzanji.
Ulama dan Politik
Beberapa ulama asli Nusantara, baik sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan tercatat sebagai bagian penting dalam kekuasaan.
Misalnya, Syekh Yusuf Al-Makassari (1626-1699), setelah meninggalkan Makassar untuk merantau ke Timur Tengah pada tahun 1644, dan baru kembali tahun 1672 atau riwayat lain 1664, Al-Makassari kembali ke Nusantara.
Ia telah menghabiskan 20 hingga 28 tahun umurnya dalam rangka rihlah menuntut ilmu.
Ia tidak pernah kembali ke Sulawesi Selatan melainkan langsung berlabuh ke Banten, Penguasa Banten kala itu adalah Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.