Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Sumpah Pemuda: Dari Nyanyian Erni Djohan hingga Spirit Pembangkangan Samin

Seperti lagu yang mengingatkan pada masa lalu, sejarah juga memanggil kita untuk tak melupakan peristiwa penting.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Sumpah Pemuda: Dari Nyanyian Erni Djohan hingga Spirit Pembangkangan Samin
Ist
Fahrul Dason Ketua Umum BEM FAI

Oleh: Fahrul Dason

Ketua Umum BEM FAI

TRIBUN-TIMUR.COM - Di bawah langit kemerahan dengan segelas kopi hitam dan alunan lembut suara Erni Djohan dari lagu “Senja Di Batas Kota” mengalir, membawa ingatan kembali pada peristiwa-peristiwa yang tak lekang oleh waktu.

Seperti bait ketiga lagunya yang berbunyi, ‘Tiada dapat kulupakan peristiwa kita ini,’ sejarah pun demikian menyimpan jejak-jejak yang harus kita ingat dan pelajari.

Seperti lagu yang mengingatkan pada masa lalu, sejarah juga memanggil kita untuk tak melupakan peristiwa penting.

Ini seperti pidato terakhir Bung Karno, yakni: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” (Jasmerah) yang kemudian telah menjadi semboyan sangat populer di Indonesia sejak saat itu.

Sama halnya Bung Karno, Maxim Gorky yang seorang pengarang Soviet/Rusia juga menyebut: “The people must Know their history” (rakyat harus tahu sejarahnya). Dari sini kita bisa menarik kesimpulan jikalau sejarah sangat penting bagi identitas suatu bangsa.

28 Oktober 1928

Bulan Oktober ini telah menjadi tanda akan persatuan. Bagaimana ketika itu para pemuda pemudi Nusantara berkumpul dalam satu forum, berdebat dan berdiskusi untuk merumuskan pendirian Bangsa Indonesia yang hari ini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Dalam sejarah Sumpah Pemuda, perdebatan yang cukup lama kala itu ada pada kalimat bagian ketiga, ketika Mohammad Yamin kukuh bahwa bahasa kita adalah Bahasa Melayu, karena menurut Yamin Bahasa Melayu sudah ada dan telah bisa digunakan.

Namun, itu semua dibantah oleh pemuda dari Jong Java bernama Mohammad Tabrani yang dibantu oleh pemuda dari Jong Batak bernama Sanusi Pane, kakak dari Lafran Pane pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu.

Sederhananya menurut mereka berdua, jika tanah kita adalah Tanah Indonesia, dan bangsa kita Bangsa Indonesia, mestinya juga Bahasa kita adalah Bahasa Indonesia, dari perdebatan itulah yang kemudian menjadikan bagian ketiga dari teks
Sumpah Pemuda menjadi Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.

Perdebatan akan bahasa Sumpah Pemuda bukan sekedar urusan linguistik belaka. Itu adalah simbol perjuangan pemuda untuk membangun identitas yang kuat—sebuah upaya pembangkangan terhadap dominasi budaya kolonial.

Budaya kolonial ini telah dijelaskan oleh Pram dalam novel “Bumi Manusia” ketika Belanda memandang bangsa pribumi sebagai manusia bawah yang bodoh, primitif, dan terbelakang.

Maka melalui kesadaran pembangkangan, pemuda telah menjadi kunci mendobrak budaya kolonial yang non-manusiawi. Layaknya seperti sejarah Sumpah Pemuda.

Sejarah Sumpah Pemuda adalah Pembangkangan

Jika kita ingin melihat perspektif berbeda secara sederhana, Peristiwa Sumpah Pemuda pada dasarnya bagian dari pembangkangan sipil terhadap kolonial Hindia Belanda, ketika pemuda pemudi mencoba untuk melawan ketertindasan dengan semangat mendirikan suatu bangsa yang bernama Indonesia.

Namun seiring berjalannya waktu, kini, Indonesia tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, melainkan dengan bangsanya sendiri.

Semuanya dapat dilacak melalui perilaku individu dan segelintir kelompok elit yang ingin menguasai sumber daya.

Ini juga disampaikan oleh Arundhati Roy, seorang Aktivis India menyatakan bahwa, sumber daya terkonsentrasi di tangan individu atau korporasi besar, dan mereka mendominasi kebijakan politik dan ekonomi negara, Roy menyebutnya sebagai “Korporasi membajak Demokrasi”.

Sumber daya yang terkonsentrasi secara tertentu inilah biasa kita sebut sebagai oligarki, berdasarkan data Indeks Kekuatan Material (Material Power Index) MPI di Indonesia telah mencatat rata-rata oligarki di Indonesia memiliki sekitar 570.988 kali lipat kekuatan kekayaan dari warga negara rata-rata pada tahun 2010 dan meningkat 33 persen tahun 2020.

Kondisi ini membuat Indonesia berada di peringkat 4 negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia (Jeffrey A. Winters, oleh Ikhsan Tualake).

Persoalannya apa? Bukan hanya ekonomi, politik, dan sumber daya saja yang terkontrol.

Tetapi bagi Howard Zinn seorang kritikus Amerika, memandang bahwa persoalannya ada pada kepatuhan sipil.

Sebab setiap kebijakan dari pemimpin negara seolah membuat rakyat hanya patuh.

Kepatuhan inilah yang harus bertranformasi sebagai pembangkangan sipil dengan tidak bersikap netral dalam menghadapi konflik yang ada, atau melawan di luar kekuasaan.

Pembangkangan sipil telah menjadi napak tilas sejarah Sumpah Pemuda untuk memukul mundur para penjajah.

Begitu juga dengan yang dilakukan oleh Samin Surosentiko seorang petani Jawa yang melakukan pembangkangan sipil dengan cara memboikot dan tidak membayar pajak terhadap kolonial Belanda yang hari ini kita kenal sebagai Gerakan saminisme.

Maka sebagai refleksi kritis mari kita ingat bahwa peran pemuda bukan hanya sebagai pewaris sejarah, tetapi sebagai pembangkang ketika rakyat tidak lagi menjadi prioritas.

Ketika kebijakan yang dzalim terus menindas. Dan ketika-ketika lainnya. Seperti Samin Surosentiko ketika menolak untuk tunduk pada ketidakadilan.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved