Ngopi Akademik
PHP Suara Rakyat
Namun, di balik harapan tersebut, tersimpan dinamika internal partai politik yang sering kali tidak terlihat.
Oleh: Rahmat Muhammad
Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - AWAL pekan ini saya didapuk duduk di kursi studio podcast Kopel Indonesia untuk diskusi soal fenomena wakil rakyat yang balik haluan ikut Pilkada serentak, dan meninggalkan kesan PHP terhadap konstituen yang telah memilihnya.
Fenomena ini menjadi sorotan utama, terutama bagi banyak pemilih, caleg yang meraih suara terbanyak adalah harapan akan perubahan dan perbaikan di daerah mereka.
Namun, di balik harapan tersebut, tersimpan dinamika internal partai politik yang sering kali tidak terlihat.
Keputusan anggota DPRD untuk maju dalam Pilkada bisa dilihat dari dua sisi.
Di satu sisi, ini menunjukkan ambisi mereka untuk berkontribusi lebih besar bagi masyarakat.
Pengalaman mereka di legislatif diharapkan dapat membawa perspektif baru dalam pemerintahan.
Namun, di sisi lain, keputusan ini sering kali didorong oleh kebutuhan partai politik untuk mempertahankan suara dan kekuasaan.
Masyarakat perlu menyadari bahwa dibalik langkah ini, ada mekanisme internal partai yang beroperasi.
Anggota DPRD yang maju di Pilkada dianggap sebagai aset yang dapat meningkatkan suara partai.
Sementara itu, mereka yang mundur dari kursi legislatif biasanya akan digantikan oleh kader lain, menciptakan kesan bahwa langkah tersebut adalah bagian dari strategi jangka panjang partai, bukan semata-mata untuk kepentingan publik.
Pertanyaannya adalah, sejauh mana niat baik ini berbanding lurus dengan etika politik?
Ketika calon yang diharapkan bisa membawa perubahan justru tampak mengejar kekuasaan, publik berhak untuk kritis.
Transisi antara kepentingan pribadi, partai, dan tanggung jawab kepada masyarakat harus dikelola dengan baik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.