Opini
Maulid Rasulullah: Sebuah Usaha Merawat Ingatan Bersama
Saat berkunjung ke Desa Cikoang kemarin, 15 September 2024, warga telah sibuk menyiapkan acaranya.
Prof Oman Fathurahman yang lebih sering disapa Kang Oman, juga ikut menyaksikan perayaan maulid membacanya sebagai usaha merawat ingatan bersama yang dalam kajian Cultural Studies disebut sebagai memori kolektif.
Ingatan-ingatan tersebut terus dirawat selain sebagai bentuk cinta kepada Rasulullah SAW, juga akhirnya bisa menghubungkan orang-orang pada akar kesejarahan, tradisi leluhur, dan pengetahuan tentang Islam yang terus terjaga kelestariannya sebab ada budaya dan tradisi orang tua dahulu yang dilaksanakan.
Misalnya, dalam salah satu salinan naskah (diduga ditulis sekitar pertengahan abad 18) yang turut dibacakan saat maulid itu berisi cerita asal-usul masyarakat Cikoang.
Dalam naskah dapat ditelisik dugaan bahwa masyarakat Cikoang berhubungan erat dengan kedatangan ulama dari Hadramaut, Yaman Selatan, yang salah seorang keturunannya berhijrah ke Aceh, juga untuk tujuan syiar Islam dan memiliki hubungan keluarga dengan bangsawan di sana.
Dalam beberapa catatan sejarah, ditunjukkan bahwa di antara keturunannya, ada yang berhijrah ke Gowa pada tahun 1632, melakukan syiar Islam sampai ke Cikoang dan beranak-pinak membentuk pemukiman.
Saat menyaksikan persiapan puncak acara maulid dan bagaimana semangat kebersamaan tercermin antarwarga, ini seharusnya bisa menjadi refleksi bagi orang muda yang memiliki spirit dan energi lebih besar untuk bisa belajar dari tradisi dan kebiasaan masyarakat di desa. Selain kebersamaan, nilai-nilai ketekunan juga sangat terpelihara.
Sebagai contoh, dalam tradisi maulid, warga desa harus menumbuk padi di lesung (tidak boleh menggunakan mesin penggiling). Persiapan itu dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat desa.
Sungguh sebuah bentuk komunalitas yang menjadi ciri terpenting nusantara, yang sudah sangat jarang dilakukan, apalagi pada era digital saat ini.
Sebagai bagian dari pemuda, saya merasa ini adalah bagian dari tanggung jawab untuk mengingatkan dan memantik orang muda agar tidak lepas dari asal usulnya.
Tanpa maulid, syair-syair Islam kehilangan dendangnya. Warga desa tak lagi berkumpul bersama menghias telur.
Tak ada obrolan, negosiasi, dan kolaborasi. Semua orang merasa sendiri, bahkan ketika budaya komunal itu dilepaskan dan setiap orang abai pada lingkungannya, di saat itu pula akar sejarah juga akan terputus.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.