Opini
Maulid Rasulullah: Sebuah Usaha Merawat Ingatan Bersama
Saat berkunjung ke Desa Cikoang kemarin, 15 September 2024, warga telah sibuk menyiapkan acaranya.
Oleh: Arief Rosyid Hasan
Founder Merial Institute
Di Desa Cikoang, Takalar ada tradisi maulid atau memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW yang dirayakan sangat besar.
Namanya Maudu’ Lompoa. Pada momen itu, warga desa, tetua, pejabat desa, dan guru adat berkumpul bersama-sama merayakan maulid yang jatuh setiap 12 Rabiul Awal atau pada hari Senin, 16 September 2024.
Saat berkunjung ke Desa Cikoang kemarin, 15 September 2024, warga telah sibuk menyiapkan acaranya.
Sepanjang jalan, rumah-rumah dihiasi dengan arak-arakan yang berisi telur, pakaian, panci, selebaran uang, dan barang-barang lain yang dirangkai sedemikian rupa.
Kunjungan ke Desa Cikoang merupakan bagian dari perjalanan Rihlah Budaya 1 yang dilakasanakan oleh Merial Institute bekerja sama dengan Ngariksa (Ngaji Manuskrip Kuno Nusantra), dan Mahesty (Makassar Heritage Society).
Kami melakukan perjalanan menulusuri manuskrip Islam di nusantara bersama Prof Oman Fathurahman, seorang Pakar Filolog Islam Indonesia dan menemukan bahwa cahaya nabi terpancar dalam naskah-naskah kuno di Sulawesi Selatan.
Perjalanan menelusuri manuskrip di Pare-Pare, Sengkang, dan Bone itu terefleksi ketika kembali ke Makassar, dan mampir di Takalar untuk melihat perayaan Maulid Rasulullah di Desa Cikoang.
Dari perjalanan menelusuri naskah, memantik kerinduan dan semangat meneladani jejak sejarah Islam di nusantara sebab pada akhirnya pencatatan manuskrip Islam di Sulsel bisa mengantarkan ummat muslim menemukan puzzle puzzle sejarah yang berserakan. Lalu, pertanyaannya, mengapa hal itu penting dilakukan?
Sejarah selalu berkaitkan pada keluhuruan, tradisi, dan silsilah yang membentuk manusia dan segenap struktur yang melingkupinya hari ini.
Itu mengapa, sejarah senantiasa menjadi bekal manusia dalam menapaki masa kini dan merajut masa depan yang gemilang. Dalam konteks pemerintahan hari ini, kita mengenalnya dengan “Indonesia Emas 2045”.
Tanpa melihat akar kesejarahan dan masa lalu, rasanya bangunan masa depan itu akan goyah dan lebih cepat rubuh sebab tak memiliki pondasi yang kuat.
Kolaborasi dan Kebersamaan
Dalam perjalanan ke Cikoang dan melihat betapa Maulid dirayakan secara megah.
Semangat kolaborasi dan gotong royong antarpemuda dan masyarakat desa terlihat jelas dalam menyukseskan acara maulid itu.
Prof Oman Fathurahman yang lebih sering disapa Kang Oman, juga ikut menyaksikan perayaan maulid membacanya sebagai usaha merawat ingatan bersama yang dalam kajian Cultural Studies disebut sebagai memori kolektif.
Ingatan-ingatan tersebut terus dirawat selain sebagai bentuk cinta kepada Rasulullah SAW, juga akhirnya bisa menghubungkan orang-orang pada akar kesejarahan, tradisi leluhur, dan pengetahuan tentang Islam yang terus terjaga kelestariannya sebab ada budaya dan tradisi orang tua dahulu yang dilaksanakan.
Misalnya, dalam salah satu salinan naskah (diduga ditulis sekitar pertengahan abad 18) yang turut dibacakan saat maulid itu berisi cerita asal-usul masyarakat Cikoang.
Dalam naskah dapat ditelisik dugaan bahwa masyarakat Cikoang berhubungan erat dengan kedatangan ulama dari Hadramaut, Yaman Selatan, yang salah seorang keturunannya berhijrah ke Aceh, juga untuk tujuan syiar Islam dan memiliki hubungan keluarga dengan bangsawan di sana.
Dalam beberapa catatan sejarah, ditunjukkan bahwa di antara keturunannya, ada yang berhijrah ke Gowa pada tahun 1632, melakukan syiar Islam sampai ke Cikoang dan beranak-pinak membentuk pemukiman.
Saat menyaksikan persiapan puncak acara maulid dan bagaimana semangat kebersamaan tercermin antarwarga, ini seharusnya bisa menjadi refleksi bagi orang muda yang memiliki spirit dan energi lebih besar untuk bisa belajar dari tradisi dan kebiasaan masyarakat di desa. Selain kebersamaan, nilai-nilai ketekunan juga sangat terpelihara.
Sebagai contoh, dalam tradisi maulid, warga desa harus menumbuk padi di lesung (tidak boleh menggunakan mesin penggiling). Persiapan itu dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat desa.
Sungguh sebuah bentuk komunalitas yang menjadi ciri terpenting nusantara, yang sudah sangat jarang dilakukan, apalagi pada era digital saat ini.
Sebagai bagian dari pemuda, saya merasa ini adalah bagian dari tanggung jawab untuk mengingatkan dan memantik orang muda agar tidak lepas dari asal usulnya.
Tanpa maulid, syair-syair Islam kehilangan dendangnya. Warga desa tak lagi berkumpul bersama menghias telur.
Tak ada obrolan, negosiasi, dan kolaborasi. Semua orang merasa sendiri, bahkan ketika budaya komunal itu dilepaskan dan setiap orang abai pada lingkungannya, di saat itu pula akar sejarah juga akan terputus.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.