Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Kasus Pelecehan

Ingat Oknum Polisi Lecehkan Tahanan Wanita Polda Sulsel? Hanya Divonis 3 Tahun, Respon LBH Makassar

Masih ingat Briptu Sanjaya? oknum polisi dilaporkan melecehkan tahanan wanita di Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Dittahti) Polda Sulsel. 

Penulis: Muslimin Emba | Editor: Sukmawati Ibrahim
IST
Ilustrasi pelecehan - Update kasus oknum polisi dilaporkan melecehkan tahanan wanita di Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Dittahti) Polda Sulsel. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Masih ingat Briptu Sanjaya? oknum polisi dilaporkan melecehkan tahanan wanita di Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Dittahti) Polda Sulsel

Kasusnya kini, sudah divonis dalam Sidang Pengadilan Negeri Makassar.

Dalam sidang vonis itu, terdakwa Briptu Sanjaya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana

kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c Jo.

Pasal 15 huruf c UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS.

Atas perbuatannya dengan nomor perkara 709/Pid.Sus/2024/PN Mks,

Sanjaya, dihukum 3 tahun penjara dan denda sebesar 10 juta rupiah atau subsider 2 bulan penjara.

Hukuman itu disebut jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa. 

Jaksa menuntut pelaku 10 tahun penjara.

Baca juga: Viral Oknum Polisi di Makassar Diduga Pungli Rp250 Ribu ke Pengendara Mobil Gegara Melanggar

Atas putusan tersebut, LBH Makassar selaku Tim Penasehat Hukum Korban menilai, vonis diberikan tidak merepresentasikan sistem peradilan adil terhadap korban kekerasan seksual.

Hakim dianggap gagal melihat pola kekerasan berulang yang dialami korban, serta relasi kuasa antara pelaku dan korban.

"Sepatutnya, dengan adanya keterangan korban ditambah 2 orang saksi lainnya yang dihadirkan dalam ruang sidang, Majelis Hakim bisa dengan menemukan pola kekerasan yang dilakukan pelaku," ujar Mirayati Amin selaku Penasehat Hukum, Kamis (11/8/2024) malam.

"Sehingga mengakibatkan korban mengalami kekerasan seksual lebih dari sekali dengan bentuk kekerasan seksual yang berbeda," sambungnya.

Menurut tim hukum, relasi kuasa tersebut menimbulkan situasi rentan dan tidak setara, tidak hanya antara pelaku dan korban, tapi berlaku juga bagi tahanan dan aparat kepolisian secara umum.

Hal ini bisa dilihat dari adanya intimidasi diterima korban sejak awal dia mendapatkan tindak pelecehan. 

"Dalam proses pemeriksaan lainnya, kita bahkan bisa mendengar bagaimana relasi kuasa antara korban yang berstatus tahanan dan pelaku yang merupakan aparat kepolisian, ikut menjadi penyumbang kejahatan pelaku," tegasnya.

Bahkan ketika dia mulai berani melaporkan pelaku ke Direktur DitTahti Polda Sulsel, kemudian berlanjut ke Propam Polda Sulsel, intimidasi tersebut tidak berhenti.

Korban, kata Mira, bahkan sempat berniat tidak melanjutkan kasusnya karena takut proses hukum dia jalani akan dipersulit.

Namun, pada akhirnya korban memilih tetap melaporkan pelaku hingga ke SPKT Polda Sulsel, karena sadar kekerasan dialami harus berhenti.

Rumah tahanan yang seharusnya menjadi ruang aman, justru menjadi tempat traumatis bagi korban kekerasan seksual.

"Di awal-awal ku cuekiji karena takut ka juga, tapi semakin lama semakin semaunya. Saya marah mi kalau begitu terus nanti dia, akan ada lagi orang lain," ungkap Mira.

"Baru itu penyidik yang lain, sebenarnya na tau ji cuman ndak mau juga ikut bicara atau melapor. Makanya, berani saya melapor karena nanti dikira orang karena ada tatto ku jadi bisa na kasih begitu," ungkap korban ke Tim Hukum, saat pertama kali melapor ke SPKT Polda Sulsel, pada bulan Agustus 2023.

Menurut Koordinator Bidang Hak-Hak Sipil dan Politik, Hutomo, menilai putusan oleh Majelis Hakim terhadap Briptu Sanjaya sangat jauh dari rasa keadilan semangat mencegah kekerasan seksual utamanya pelaku yang melibatkan aparat.

"Faktanya, perbuatan pelaku dilakukan secara berulang-ulang dan memanfaatkan posisinya sebagai polisi di rutan tempat korban di tahan," sebutnya 

"Hal ini menunjukan adanya relasi kuasa antara keduanya dan korban berada dalam posisi rentan karena berada dalam tahanan. Ini sangat tidak manusiawi sehingga pelaku seharusnya mendapat hukuman maksimal," tuturnya.(*)

 

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved