Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Catatan di Kaki Langit

Catatan di Kaki Langit: Imbauan Menag Tentang Adzan Saat Misa Kudus Sangat Toleran dan Masuk Akal 

Misa Kudus dipimpin Paus dan disiarkan tv-tv tidak tersela oleh azan Maghrib. TV diimbau cukup tampilkan running text Adzan Maghrib

Editor: AS Kambie
zoom-inlihat foto Catatan di Kaki Langit: Imbauan Menag Tentang Adzan Saat Misa Kudus Sangat Toleran dan Masuk Akal 
dok.tribun
Prof Dr M Qasim Mathar, Guru Besar UIN Alauddin

Tuna Literasi Tuna Toleransi
Oleh: M Qasim Mathar
Pendiri Pesantren Matahari

TRIBUN-TIMUR.COM - Kita selalu bersuara agar masjid dijadikan sebagai pusat kebudayaan dan peradaban. Bukan hanya sebagai tempat ibadah salat. Kebudayaan dan peradaban itu sangat luas cakupan dan aspek-aspeknya. 

Tidak terkecuali kebudayaan dan peradaban Islam, yang menjadi bagian dari kebudayaan dan peradaban ummat manusia yang amat luas itu. Di dalam Islam saja ada kebudayaan dan peradaban Sunni, Syii, dan Ahmadi, dalam aspek teologis, selain kebudayaan dan peradaban bercorak Mu'tazili, Asy'ariah dan Maturidiah. 

Dalam aspek fikhi ibadah, ada budaya dan peradaban Maliki, Hanafi, Hambali, Syafii, Syatibi,  Ja'fari, dan lain-lain.

Maka ketika baru-baru ini di mesjid Istiqlal Jakarta jamaah memenuhi ruangan salat menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, muncul pertanyaan, bolehkah itu?

Menyanyi di mesjid sebagai ekspresi budaya dan adab, misalnya menyanyi Sholawat Badar, akan ditemukan penjelasannya pada mazhab Islam, baik yang membolehkan maupun yang tidak membolehkannya. 

Berbarengan pada saat yang sama, TV diimbau cukup tampilkan running text "Adzan Maghrib", saat Paus Fransiskus memimpin Misa Kudus di GBK (Gelora Bung Karno) Senayan Jakarta. 

Menurut Cak Nanto, juru bicara Menteri Agama RI, imbauan itu karena saat Misa Kudus itu berlangsung, waktu salat Maghrib juga tiba, pada saat mana tv-tv menyiarkan suara azan, dan agar Misa Kudus yang juga tayang di tv-tv bisa berlangsung khusuk, waktu azan maghrib diimbau siar secara running text.

Dalam pendapat saya, imbauan itu sangat toleran dan masuk akal. Misa Kudus yang dipimpin Paus Fransiskus dan disiarkan oleh tv-tv tidak tersela oleh azan Maghrib. 

Nah, tuna literasi, tuna story historis, telah membuat umat juga tuna toleransi.

Bukankah pembiaran Nabi kepada tamunya, Nasrani Najran, untuk  melakukan kebaktian di masjid beliau, sudah cukup untuk jangan mempersempit fungsi masjid hanya sebagai tempat salat ummat Muslim.

Pada hemat saya, bentuk toleransi itu meluas melebar hingga tidak membuat keimanan dan ibadah bergeser dan keluar dari pusat asalnya. 

Misalnya, bertoleransi stop azan di tv atau di tempat yang dekat ibadah Misa dilakukan, itu tidak berarti salat tidak ditunaikan, tetap Muslim salat. 

Contoh lainnya, saat ummat Hindu Nyepi, ummat lain bertoleransi hingga tidak menyalakan api di dapur mereka. Itu bukan berarti ummat yang lain ikut tidak memasak sampai ikut tidak makan. 

Boleh, kan, beli makanan sudah jadi pada saat hari Nyepi, atau memasak tapi tidak menyolok hingga mengganggu ke"nyepi"an ummat Hindu.

Kaum terpelajar Muslim sebenarnya sudah belajar tentang toleransi Nabi, saat belum hijrah ke Madinah, beliau sudah mengizinkan sahabat⊃2;nya hijrah/minta suaka perlindungan kepada raja Kristen (Negus) di Ethiopia. 

Hijrah itu dilakukan dua kali. Jangan mengira Nabi tidak tahu bahwa beliau membolehkan minta perlindungan kepada raja Kristen itu.

Selain itu, ayat Alquran maupun hadis yang mengandung semangat toleransi, tentu sangat dimengerti oleh ulama dan kiai.

Sedang asyik mengikuti berita kedatangan Paus Fransiskus Pemimpin ummat Katolik sedunia, medsos berkabar tentang ulama NU, Kiai Masdar Mas'udi yang berwacana tentang ibadah haji dilakukan pada bulan selain bulan Zulhijjah dan usul Salat Jumat dilakukan di hari Sabtu atau Ahad (?)

Wacana ini tentulah mengundang kontroversi. 

Namun faktanya, ummat Islam pada zaman ini, otak dan pikirannya sama sekali tidak siap mencerna perkara keislaman yang kontroversial. 

Ini, akibat ummat sudah mundur ilmunya selepas masa Algazali, sudah sekitar 800-an tahun. Sudah sepanjang delapan abad itu hingga saat ini, tidak pernah terjadi masa renaissans di dalam sejarah ummat Islam. 

Memang ada zaman pembaruan  tetapi tidak menyentuh hingga ke saintek.

Padahal, menurut saya, pemikiran keagamaan yang diwacanakan oleh Masdar Mas'udi, jauh sebelumnya, sudah ada pembaru2 muslim pada abad ke 18 -dan 19. Juga, mendahului  Masdar, sudah ada pembaru seperti Cak Nur (Nurkhalish Madjid), Harun Nasution, Djohan Effendy dan seangkatan. 

Pikiran Masdar itu pernah mau didiskusikan oleh mahasiswa Indonesia di Mesir. Tapi, Kiyai Masdar diminta pulang ke Indonesia agar jangan mewacanakan hal itu kepada mahasiswa.

Sebelum Masdar, saya lebih dulu tahu tentang haji boleh di luar Zulhijjah ialah dari Atho Mudzhar, mantan rektor IAIN Yogya.

Sekali lagi, menurut saya, pembaruan Islam harus menyentuh ke saintek. Saintek yang sifatnya rasional murni memungkinkan yang memilikinya bisa memahami perkara keagamaan yang kontroversial. Dan, sekali lagi, tuna literasi berakibat tuna toleransi!(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Reshuffle Menteri

 

Reshuffle Menteri

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved