Inilah 6 Jenderal Bintang 4 Asal Jawa Tengah, Satu Orang Pernah Bersiteru Gusdur
Para jenderal bintang empat asal Jateng memiliki latar belakang dan kehebatan yang berbeda. Salah satunya telah meraih gelar Adhi Makayasa.
Saat Surojo Bimantoro masih menjadi Kapolri, ia sempat melawan perintah Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Kapolri ke 16 ini terlibat konflik dengan Gus Dur menyangkut masalah pengibaran bendera bintang kejora yang dilakukan oleh OPM.
Dilansir dari Surya, akibat konflik antara Surojo Bimantoro dengan Gus Dur kala itu, DPR RI sampai turun tangam.
Konflik berawal saat Gus Dur mengganti Jenderal Surojo Bimantoro dengan Jenderal Polisi Chairuddin Ismail sebagai Kapolri.
Saat itu, masa kepemimpinan Suroyo Bimantoro terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri.
Presiden Gus Dur kemudian dikabarkan "memecat" Bimantoro dan mengangkat Chairuddin tanpa persetujuan parlemen.
Seperti dilansir dari Tribun Timur dalam artikel 'Ingat Jenderal Surojo Bimantoro? Kapolri Berani Lawan Presiden Gus Dur, Disuruh Mundur Tapi Menolak'.
Kisruh pun terjadi di dalam internal Polri.
Padahal, jenderal bintang 4 ini baru menjabat satu tahun dua bulan.
Mereka berbeda dalam penanganan gerakan Papua Merdeka.
Presiden Gus Dur memperbolehkan pengibaran Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, sedangkan Bimantoro tegas tidak menoleransinya.
Pada saat itu Gus Dur mencoba melakukan pendekatan berbeda untuk meredam pertikaian bersenjata antara aparat keamanan dengan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua.
Salah satu caranya adalah Gus Dur membuat kesepakatan dengan sejumlah tokoh di Papua dan membolehkan mengibarkan bendera Bintang Kejora yang menjadi lambang OPM pada 1 Desember.
Menurut Gus Dur, bendera Bintang Kejora mirip dengan umbul-umbul yang berkibar ketika pertandingan sepak bola.
Akan tetapi, Gus Dur menetapkan syarat pengibaran bendera Bintang Kejora harus berada di bawah bendera Merah Putih.
Gus Dur juga mengubah penyebutan pulau itu dari Irian Jaya menjadi Papua.
Keputusan itu disambut baik oleh para tokoh masyarakat Papua.
Kendati demikian, tidak semua kalangan sepakat terhadap kebijakan Gus Dur terhadap Papua, terutama TNI dan Polri.
Gus Dur meminta TNI tak perlu risau karena pengibaran bendera Bintang Kejora tidak lebih tinggi dari bendera Merah
Putih.
Bimantoro adalah salah satu orang yang tidak sepaham dengan cara Gus Dur menangani Papua, terutama terkait pengibaran bendera Bintang Kejora.
Perbedaan pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana.
Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan semakin bertambah, dan Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden.
Mulai saat itulan perang dingin terus bergulir.
Hingga akhirnya, bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia.
Beberapa jam kemudian, Bimantoro menyatakan penolakan.
Pada tanggal 20 Juli 2001, dia melantik Chairuddin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri.
Dilansir dari Kompas.com, karena keretakan hubungan itu, Polri dianggap mengulur proses penyidikan kasus pembelian saham ganda.
Polri saat itu juga menahan 2 petinggi perusahaan asuransi berkewarganegaraan Kanada yang dituduh terlibat dalam perkara itu
Persoalan itu kemudian membuat hubungan diplomatik antara Indonesia dan Kanada menghangat.
Gus Dur meminta Menteri Luar Negeri Alwi Shihab menyelesaikan persoalan itu tetapi gagal.
Kasus yang membelit 2 warga Kanada itu baru berakhir setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun tangan.
Menurut penjelasan dalam buku Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky Utama, sikap Bimantoro terkait penyelidikan terhadap perkara yang menyangkut 2 WN Kanada itu diduga sarat kepentingan.
Persoalannya adalah saat itu Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga Bimantoro terlibat penggelembungan harga pembelian senapan serbu AK dari Rusia, senilai Rp 49,9 miliar.
Pembelian senapan AK diduga menyalahi proses demiliterisasi Polri yang mulai diterapkan sejak Juli 2000.
Penyebabnya adalah AK merupakan senapan serbu standar tempur yang seharusnya hanya boleh digunakan militer.
Selain itu, pembelian senapan AK juga dilakukan secara diam-diam.
“Pembelian itu dilakukan tanpa meminta izin presiden, tetapi hanya dengan meminta persetujuan wapres.
Ini jelas mengadu domba presiden dan wapres,” tulis Virdika (halaman 289).
Sosok Surojo Bimantoro
Melansir dari Wikipedia, Surojo Bimantoro lahir 1 November 1946.
Ia adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kapolri yang menjabat sejak 23 September 2000 hingga 29 November 2001.
Bimantoro adalah anak kedua dari sembilan bersaudara.
Ia menempuh pendidikan dasar di Banjarnegara (Banyumas) dari tahun 1953-1959, sebagaimana dilansir dari Reqnews.
Saat masih kecil, Bimantoro dikenal oleh kawan-kawannya sebagai murid yang rajin belajar.
Karena ketekunannya saat itu, Bimantoro meraih rangking II di sekolahnya setelah mengikuti ujian akhir sekolah dasar.
Bimantoro melanjutkan ke SLTP pada tahun 1959-1962.
Ketika di SLTP, Bimantoro berhasil meraih rangking pertama untuk seluruh SMP di Gombong serta meneruskan SLTA (SMA VI) di Yogyakarta.
Lulus dari SMA, ia mengikuti tes di Kedokteran UI dan Teknik Kimia UGM.
Namun, nasib berkehendak lain.
Ayahnya meninggal pada 29 Agustus 1965 dan dengan terpaksa panggilan dari dua universitas tersebut ditolaknya.
Bukan tanpa alasan, karena ia sadar bahwa biaya kuliah dan kost tidak mungkin dipenuhinya.
Tak mau berlarut dalam kesedihan terlalu lama, setelah menganggur selama satu tahun, ia kemudian mendaftar ke Akademi Kepolisian Semarang.
Motivasi terbesarnya mendaftar adalah sekolah itu tidak memungut biaya dan setelah lulus akan diangkat menjadi Inspektur Dua (Perwira).
Takdir berpihak pada Bimantoro.
Ia lulus dari Akademi Kepolisian pada tahun 1970 pada peringkat ke-8 dan masuk kategori The Big Ten.
Karena sejak awal Bimantoro menjalin hubungan yang luas dengan para mahasiswa dari akademi lain dalam sebuah wadah Akabri.
Maka saat menjabat, ia menegaskan pentingnya untuk meningkatkan koordinasi dengan semua unsur TNI dalam upaya menghilangkan kecurigaan diantara para pasukan.
Dengan kerjasama dan koordinasi yang erat antara Polri, TNI dan instansi sipil khususnya penegak hukum, ia ingin menembus sekat informasi yang selama ini sering menimbulkan kecurigaan.
Bimantoro kemudian melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Ia lulus pada tahun 1977 dengan prestasi rangking 1.
Dalam bidang kemahasiswaan Bimantoro menjabat Wakil Ketua Senat PTIK Angkatan XIII/WASPADA. Semasa menjadi siswa Sespimpol mendapatkan pendidikan manajerial tertinggi untuk matra kepolisian.
Pada akhir pendidikan Bimantoro meraih peringkat pertama bidang intelektual.
Semasa tugas di Sekolah Staf dan Komando ABRI Gabungan (Seskogab) tahun 1933, ia belajar dengan tekun sehingga mendapatkan peringkat 6 atau sepuluh besar.
Sama seperti saat di Sespimpol, di Seskogab ia menjabat sebagai Wakil Ketua senat.
Bimantoro juga mendapat kesempatan untuk mengikuti kursus Internasional X Interpol di Taormina (Italia) pada tahun 1933.
Berbagai jabatan pernah diemban Bimantoro sebelum menjadi Kaporli diantaranya: Kapolres Jakarta Utara (1985), Kepala Polres Jakarta Barat (1986), Pasdep Fal Juang Sespim Polri (1987-1989), Gadik Utama di Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespim) tahun 1990, Sekretaris Pribadi Kapolri (1991), Kapolwil Kota Besar Surabaya (1993), Wakil Kapolda Nusa Tenggara (1996), Kapolda Bali pada 15 Juli 1997.
Pada 1 Mei 1998 diangkat sebagai asisten Operasi Kapolri sampai awal tahun 2000, tahun 2000 Bimantoro diangkat menjadi Wakapolri, dan pada tanggal 23 September 2000 Bimantoro kemudian diangkat sebagai Kapolri oleh Presiden Gus Dur menggantikan Jenderal Polisi Drs. KHP Rusdihardjo untuk menangkap pelaku pemboman BEJ dan kasus Atambua.
Akhirnya pangkatnya yang semula Komisaris Jenderal kemudian naik menjadi Jenderal.
Penunjukkan Bimantoro sebagai Kapolri tanpa menggunakan mekanisme persetujuan DPR juga sempat memicu kekesalan di kalangan DPR.
Sesuai dengan Tap MPR No/ VII/2000, pasal 7 ayat (3) disebutkan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Namun, Gus Dur tetap pada sikapnya melantik Bimantoro.
Tak lama setelah diangkat, Kapolri langsung mengumumkan polisi telah mengetahui detail kelompok yang selama ini melakukan teror bom.
Namun Kapolri belum bersedia merinci kelompok mana yang melakukan terror tersebut demi suksesnya penyelidikan.
Ia menambahkan pihaknya juga akan meningkatkan kerjasama dengan lembaga inteligen seperti BAKIN (Badan Koordinasi Inteligen) dan BIA (Badan Inteligen ABRI).
Dengan koordinasi dan saling proaktif Bimantoro menegaskan akan segera mematahkan jalur distribusi bahan peledak, senjata api dan lain-lainnya.
Ditambah dengan kerjasama Interpol dan FBI akhirnya Polri berhasil menangkap 25 tersangka pengeboman, termasuk kasus bom di Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Saat itu pernah berhembus perintah penangkapan terhadap oleh Gus Dur terhadap Bimantoro.
Meskipun,Gus Dur sendiri menganggap pernyataan itu dipelintir oleh media.
Hanya saja dia tak memungkiri bahwa Bimantoro harus diadili secara hukum karena sudah melakukan insubordinasi.
Bersikap di luar jalur, berlebihan, dan mencerminkan sebuah sikap pembangkangan.
Hal itu bermula pada kasus kerusuhan yang menelan korban di Jawa Timur.
Dia menganggap Bimantoro gagal mengendalikan pasukannya yang menjadi pengaman dalam unjuk rasa tersebut.
Tak lama, pada Juli 2021 Presiden Gus Dur memberhentikan Bimantoro sebagai Kapolri
3. Jenderal Polisi (Purn) Sutanto
Berikutnya, ada tokoh yang patut diperhatikan, yaitu Jenderal Polisi (Purn) Sutanto.
Kelahiran Comal, Pemalang, Jawa Tengah pada tanggal 30 September 1950, mantan Kapolri ini memiliki latar belakang pendidikan dari Akademi Kepolisian (Akpol) pada tahun 1993.
Tidak hanya berhasil lulus, Sutanto juga meraih penghargaan Adhi Makayasa sebagai lulusan terbaik.
Perjalanan karirnya di Kepolisian Indonesia sungguh mencolok.
Dia telah mengisi sejumlah jabatan penting, termasuk sebagai Kalemdiklat Polri (2002-2005), Kalakhar BNN (2005), dan bahkan menjabat sebagai Kapolri (2005-2008).
Dilantik oleh Presiden SBY pada 8 Juli 2005, posisi Kapolri dipegangnya menggantikan Jenderal Polisi Da’i Bachtiar.
4. Jenderal Polisi (Purn) Dibyo Widodo
Jenderal Polisi (Purn) Dibyo Widodo dilahirkan di Purwokerto, Jawa Tengah pada 26 Mei 1946.
Dia menjabat sebagai Kapolri ke-13 dari tahun 1996 hingga 1998.
Dalam hal pendidikan, Dibyo Widodo menyelesaikan SMA pada tahun 1965, lalu melanjutkan ke Akademi Kepolisian dan lulus pada tahun 1968.
Pendidikan Dibyo tidak berhenti di situ.
Dia melanjutkan studi di Bakaloreat PTIK pada tahun 1972, kemudian Doktoral PTIK pada tahun 1975, Sesko ABRI Bagpol pada tahun 1981, dan terakhir Lemhannas pada tahun 1993.
Sebelum menjabat sebagai Kapolri, ia juga menempati berbagai jabatan penting seperti Wakapolda Nusa Tenggara, dan Kapolda Metro Jaya.
Pria kelahiran Purwokerto 26 Mei 1946 ini pertama kali bertugas dengan pangkat Inspektur Polisi tingkat II di tahun 1968, sebagai Perwira Operasi 1012 Surabaya.
Merintis karier dari nol, karier Dibyo terus meningkat karena prestasinya yang cukup gemilang. Dibyo terlihat dominan ketika bertugas di Operasi Seroja Timor Timur.
Ia adalah pemilik 4 brevet atau dokumen tanda penghargaan TNI dan polisi.
Keempat brevet itu adalah Selam Polri, Para Brimob Polri, Kopassus Angkatan Darat, Pandu Udara, dan Selam Angkatan Laut.
Prestasi yang ditorehkan Dibyo dan masih terus diingat hingga kini adalah kemampuannya dalam mengembangkan kepolisian daerah (Polda).
Dari 17 polda yang semula dimiliki institusi Polri, Dibyo berhasil mengembangkannya menjadi 27 polda.
Hal tersebut ia lakukan dengan membentuk URC (unit reaksi cepat) agar tiap-tiap provinsi mendapat dukungan dari kepolisian daerahnya masing-masing.
Selama bertugas di kepolisian dan menjabat sebagai Kapolri, Dibyo dikenal sebagai pribadi yang memiliki prinsip kuat.
Ia juga mendedikasikan hidupnya untuk bangsa dan negara.
5. Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Imam Santoso
Handoko Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Imam Santoso merupakan figur yang telah dikenal luas di tengah masyarakat Indonesia.
Beliau yang menjabat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia selama tiga tahun, dari tahun 1968 hingga 1971, dikenal sebagai sosok polisi yang memiliki integritas tinggi, hidup sederhana, dan penuh dedikasi.
Hoegeng Imam Santoso dilahirkan di Pekalongan, Jawa Tengah pada tanggal 14 Oktober 1921.
Ia kemudian meniti karier di kepolisian hingga mencapai posisi tertinggi sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Soetjipto Joedodihardjo pada tahun 1968.
6. Jenderal Polisi (Purn) Rusdihardjo
Jenderal Polisi (Purn) Rusdihardjo dilahirkan di Surakarta pada tanggal 7 Juli 1945.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, dia memilih untuk bergabung dengan Akademi Kepolisian di Sukabumi pada tahun 1964.
Dalam karirnya di bidang kepolisian, Rusdihardjo berhasil mencapai posisi puncak sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) pada tahun 2000.
Tidak hanya menjabat sebagai Kapolri, beliau juga pernah dipercayakan sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia pada tahun 2004. (*)
Jawa Tengah
Jenderal Polisi
Kapolri
Kapolri asal Jateng
Gusdur
Jenderal Sutarman
Surojo Bimantoro
Sutanto
Dibyo Widodo
Hoegeng Imam Santoso
Jenderal Rusdihardjo
Pacaran 9 Tahun Tapi Tak Dinikahi, Wanita 41 Tahun Gugat Mantan Kekasih Rp1 M |
![]() |
---|
Ucapan Bupati Sudewo Singgung Warga Pati Usai Diperiksa KPK Hampir 6 Jam |
![]() |
---|
Dulu Jabat Wakapolri, Kini Oegroseno Sakit Hati Soal Kalimat Sahroni 'Orang Tolol Sedunia' |
![]() |
---|
Warga Pati Kumpul Rp148 Juta Ongkos Berangkat ke Jakarta Demo di KPK |
![]() |
---|
Ternyata! Negara hingga Pemda Pungut 25 Jenis Pajak selama 80 Tahun Indonesia Merdeka |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.